Kamis, 15 Mei 2008

Sudah Saatnya BPN Berubah

Jurus inovatif dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk memberantas para calo dan mafia tanah melalui program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah), Jawa Pos, 19/04/08 dan Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT & Hukum, Renvoi, 03/03/08, patut diapresiasi positif, pasalnya, pelayanan BPN maupun Kantor Pertanahan tingkat Kabupaten atau Kota selama ini terkenal lambat dan bertele-tele, memakan banyak tenaga dan biaya-biaya siluman serta seringkali diwarnai dengan kebijakan yang menyimpang seperti halnya keberadaan sertifikat ganda.

Taruhlah di Kantor Pertanahan Kota Surabaya, untuk pengurusan sertifikat yang hendak di balik nama karena jual-beli, jangka waktu pengurusannya dapat mencapai 3-4 bulan, kemudian untuk pengurusan petok D, bentuk kepemilikan hak yang terdaftar di kelurahan, yang hendak disertifikatkan karena warisan bisa mencapai satu tahun.

Selain jangka waktu yang cukup lama, para pemohon harus rela berkali-kali ke Kantor Pertanahan untuk menanyakan perkembangan sertifikatnya. Pasalnya, jika hal tersebut tidak dilakukan, petugas Kantor Pertanahan akan seenaknya memproses permohonannya, apalagi kalau tidak diberi ‘uang rokok’.

Urip Santoso, staf pengajar S2 Kenotariatan Fakultas Hukum Unair dalam perkuliahannya (16/04/08), menceritakan pernah mengalami ruwetnya birokrasi di BPN, yakni saat mengurus pengajuan perolehan Hak atas Tanah. Dia mengaku untuk mengurus perolehan Hak atas Tanah, dia harus rela 15 kali datang ke Kantor Pertanahan dan menghabiskan waktu hingga 1,5 tahun.

Berbeda jika kita melalui ‘Jalan Tol’. ‘Jalan Tol’ adalah istilah yang dipergunakan para calo kepada calon konsumennya untuk mendapatkan pengurusan yang lebih cepat dengan jalan pintas. Ya, tentunya dengan biaya extra untuk calo dan oknum di BPN maupun Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota.

Kebanyakan pengguna ‘Jalan Tol’ adalah kalangan pebisnis berduit. Para pebisnis rela merogoh koceknya lebih banyak untuk pengurusan sertifikat demi kelancaran kegiatan bisnisnya. Hal inilah yang dimanfaatkan oknum pejabat di Kantor Pertanahan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Sebagai buktinya, Penulis ingin menceritakan pengalaman saat menjadi analis kredit KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) di sebuah Bank di Surabaya sekitar pertengahan 2007, kebetulan penulis mendapatkan calon debitor (cadeb) yang berasal dari pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo, di dalam proses pengajuan kreditnya, cadeb tersebut mengaku dalam sebulan bisa memperoleh pendapatan kotor hingga Rp. 20 juta. Hal ini membuat penulis bertanya-tanya dari mana pendapatan tersebut, padahal di surat keterangan penghasilan, gajinya kurang lebih Rp. 3 juta. Ketika ditanya asal pendapatan Rp. 20 juta, dengan polosnya dia mengaku mendapatkan pendapatan biaya ‘tambahan’ dari pengurusan sertifikat dari developer, yakni Rp. 750 ribu/sertifikat.

’’Saya kan pejabat disini. Jadi, saya banyak mendapatkan tambahan dari setiap pengurusan sertifikat dari developer,’’ katanya dengan sedikit angkuh.

Kutipan di atas menunjukan betapa arogannya seorang pejabat Kantor Pertanahan karena dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, dia dapat seenaknya mencari ’tambahan’.

Perbuatan ini pulalah yang mengakibatkan pelayanan bagi masyarakat menjadi panjang dan berliku-liku, karena mereka harus rela dikalahkan oleh kepentingan si pebisnis yang punya banyak uang. Tak jarang pula oknum BPN yang sudah terbutakan oleh uang bertindak semaunya, membuat sertifikat ganda, sehingga menimbulkan permasalahan dikemudian hari.

Perbuatan oknum pejabat Kantor Pertanahan tersebut bertentangan dengan Instruksi Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Percepatan Pendaftaran Hak Milik atas Tanah untuk Tempat Tinggal.

Di dalam Pasal 3 ayat 1 peraturan tersebut disebutkan bahwa. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota menetapkan jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran Hak Milik atas Tanah untuk rumah tinggal sesuai kondisi dan kemampuan kantor masing-masing dan menepati jangka waktu tersebut, dengan ketentuan bahwa permohonan yang diajukan melalui PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) jangka waktu penyelesaiannya ditetapkan paling sedikit dua minggu lebih lama dari pada yang diajukan pemohon sendiri.

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota harus memiliki batas waktu di dalam pengurusan pendaftaran Hak Milik, sehingga tidak terjadi keterlambatan.

Lebih jauh lagi, perbuatan yang dilakukan oleh oknum pejabat Kantor Pertanahan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, karena melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalagunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.

Sedangkan, pihak developer dapat dikenai Pasal 13 Undang-Undang tersebut bahwa, Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150 juta.

Tidak ada komentar:

Google
 
Web www.notariatwatch.tk