Jumat, 25 Juni 2010

Antara Kerugian Negara dan Resiko Bisnis

Para pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belakangan ini ketar-ketir karena satu-persatu menjadi bulan-bulanan pemeriksaan dari kepolisian, kejaksaaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, tidak luput diantaranya ada yang dihadapkan ke meja hijau dan masuk ke wisma prodeo. Pasalnya, mereka terbukti merugikan keuangan negara ratusan juta bahkan miliaran rupiah.

Mengapa Pimpinan BUMN dan BUMD? Karena para pimpinan BUMN dan BUMD adalah subyek hukum yang melakukan pengurusan terhadap suatu badan hukum (BUMN dan BUMD) dengan menggunakan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, modal yang berasal dari kekayaan negara yang ditetapkan dalam APBN dan APBD adalah bagian dari keuangan negara.

Oleh karena itu, kesalahan dalam pengelolaan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan merupakan kerugian negara dan pelanggaran terhadap UU No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal ini sempat menjadi polemik karena ada yang beranggapan bahwa kesalahan di dalam pengelolaan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan ditempatkan di dalam BUMN dan BUMD adalah resiko bisnis.

Pakar hukum ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Erman Rajaguguk disela-sela mengisi seminar di Hotel Acacia Jakarta bulan Desember 2009 lalu, berpendapat bahwa kekayaan negara yang sudah dipisahkan telah menjadi modal badan hukum, sehingga apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut merupakan resiko bisnis bukan kerugian negara.

Prof. Erman Rajaguguk juga berpendapat bahwa kekayaan badan hukum (legal etinty) terpisah dengan kekayaan pemilik (legal personalità), sehingga pertanggungjawabannya hanya sebatas modal.

Model Badan Usaha

Sebelum berpolemik lebih jauh, penulis akan membahas mengenai model-model badan usaha di Indonesia yang menjadi dasar pendirian dari BUMN dan BUMD.

Model badan usaha di Indonesia terdapat bermacam-macam mulai dari usaha perseorangan atau yang lebih dikenal dengan Usaha Dagang (UD), CV/Perseroan Komanditer (Commanditaire vennootschap) dan PT (Perseroan Terbatas).

Ketiga badan usaha di atas memiliki perbedaan yang cukup menonjol, diantaranya adalah di dalam hal pertanggungjawaban para sekutunya. Pertanggungjawaban bisnis di dalam UD adalah tanggung jawab renteng dari para sekutunya. Pertanggungjawaban tersebut tidak sebatas modal saja melainkan sampai ke harta pribadi para sekutu. Misalnya, si A mendirikan UD dengan modal Rp 10 juta. Di dalam perjalanan bisnisnya, Si A mengalami gagal bayar hutang sebesar Rp 25 juta, maka disamping modal Rp 10 juta, si A harus membayar sisa hutang dengan harta pribadinya sebesar Rp 15 juta.

Sedangkan, pertanggungjawaban di dalam CV sedikit berbeda dengan UD, karena di dalam CV dikenal adanya sekutu pasif dan aktif. Sekutu aktif adalah sekutu yang melakukan pengurusan terhadap CV, sedangkan sekutu pasif adalah sekutu yang hanya menyediakan modal CV. Pertanggungjawaban sekutu aktif sampai harta pribadi sedangkan sekutu pasif hanya sebatas modal yang dikeluarkan. Misalnya, si A dan B mendirikan CV. Si A sebagai sekutu aktif, sedangkan si B menyediakan modal Rp 50 juta. Di dalam perjalanan bisnisnya, CV tersebut rugi dan harus ditutup serta menyelesaikan hutang terhadap pihak ketiga sebesar Rp 200 juta, maka si B cukup mengganti sebatas modal yang dikeluarkan, yakni Rp 50 juta, sedangkan sisanya adalah tanggung jawab A untuk mengganti sampai ke harta pribadinya.

Kemudian, pertanggungjawaban dari Perseroan Terbatas (PT). Perseroan Terbatas (PT) menurut saya adalah bentuk ideal dari badan usaha, karena di dalam Perseroan Terbatas (PT), para perseronya hanya bertanggungjawab sebatas modal (saham) yang dikeluarkan pada PT dan tidak sampai ke harta pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham. Misalnya, si A, B dan C sepakat untuk mendirikan Perseroan Terbatas. Masing-masing memberikan modal Rp 50 juta, sehingga modal awal Perseroan Terbatas (PT) adalah Rp 150 juta. Di dalam perjalanannya, Perseroan Terbatas (PT) tersebut mengalami kebangkrutan, karena kesalahan di dalam memilih mitra bisnis. Akibatnya, PT tersebut mengalami kerugian sebesar Rp 500 juta, maka pertanggungjawaban Si A, B dan C hanya sebatas modal yang dikeluarkan, yakni Rp 150 juta dan sisanya berasal dari perhitungan aset. Kecuali, salah satu anggota direksi mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan dewan direksi, maka tanggung jawabnya adalah bisa sampai ke harta pribadi. Hal ini yang dinamakan dengan piercing the corporate veil.

Disamping itu, PT merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum melalui pengurusnya, yakni organ perseroan yang meliputi RUPS, Direksi dan Komisaris.

Perlu diketahui pengertian Perseroan Terbatas berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kata ‘’Terbatas’’ pada Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa pertanggungjawaban para perseroanya hanya sebatas modal yang dikeluarkan untuk Perseroan Terbatas (PT).

Dari pengertian di atas dapat ditemukan beberapa unsur penting dari PT, yaitu :

1. Badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Persekutuan modal disini adalah kumpulan modal dari para pendiri atau pemegang saham;

2. Didirikan dengan perjanjian dalam hal ini adalah akta pendirian;
3. Melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Artinya, kegiatan usaha dari PT dilakukan dengan menggunakan modal dasar yang seluruhnya terbagi atas saham.

BUMN Berbentuk PT

Kebanyakan BUMN dan BUMD di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pemegang saham dari BUMN berbentuk PT adalah Menteri Keuangan dan Menteri BUMN sedangkan BUMD adalah kepala daerah.

Kendati demikian tindakan pengurusan BUMN tidak dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri BUMN akan tetapi pada orang-orang yang ditunjuk, yakni orang-orang yang memiliki kompetensi memimpin perusahaan. Baik dari kalangan profesional maupun pejabat karier. Diharapkan dari kompetensi mereka, para pemimpin perusahaan tersebut dapat mengelola potensi BUMN yang berupa modal maupun aset menjadi pendapatan yang berlipat-lipat. Misalnya, PT Garuda Indonesia yang mampu bangkit dari keterpurukan setelah dipimpin oleh Emirsyah Satar.

Perlu diketahui sesuai Pasal 41 ayat 1, 2, 3 dan 4 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah dapat melakukan Investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, dan sosial. Investasi tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan bentuk saham, surat utang dan investasi langsung, serta penyertaan modal kepada perusahaan negara/daerah/swasta yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Di dalam melakukan tugas pengurusan, para pemimpin perusahaan (board of director) diberikan kewenangan yang dituangkan di dalam anggaran dasar perusahaan. Diantaranya, kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka meningkatkan pendapatan perusahaan. Nah, kewenangan inilah yang menjadi penyebab terjadinya kerugian negara apabila tidak disikapi dengan penuh kehati-hatian. Contoh kasus PT Iglas yang menyebabkan Mantan Direktur Utamanya, Daniel S. Kuswandi ditahan oleh penyidik Kejati Jatim, karena kasus kontrak kerjasama dengan PT Indopacking Gelora Sejahtera (Indoglas) yang mengakibatkan negara merugi lebih dari Rp 22 miliar (Antara News, 25 November 2009).

Apabila diperhatikan dari kasus PT Iglas di atas terjadinya kerugian negara dikarenakan adanya ketidakhati-hatian dan kelalaian dari direksi di dalam mengambil kebijakan kerjasama. Diantaranya, Pertama adalah PT Iglas lalai di dalam membuat kontrak kerjasama dengan PT Indoglas, karena tidak memasukan klausul sanksi dalam kontrak kerjasama sehingga PT Indoglas dapat menentukan sendiri harga jual tutup botol kepada pelanggan. Kedua adalah PT Iglas tidak hati-hati di dalam memproduksi pesanan botol dari pelanggan (PT Karunia Alam Sejahtera), sehingga menyebabkan botol pecah dan cacat. Ketiga PT Iglas tidak hati-hati di dalam berbisnis sehingga menimbulkan piutang yang tidak tertagih. Keempat adalah PT Iglas tidak hati-hati di dalam membeli mesin injeksi sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

Seharusnya hal di atas tidak perlu terjadi apabila kebijakan di dalam suatu perseroan terbatas telah melalui mekanisme yang dituangkan di dalam anggaran dasar maupun ketentuan peraturan yang berlaku.

Apabila suatu perusahaan telah menjalankan suatu kebijakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan tetapi di dalam perjalanannya mitra kerja wanprestasi (cidera janji) sehingga kebijakan tidak dapat dijalankan dengan maksimal dan menimbulkan kerugian, maka hal tersebut bukanlah tindak pidana khusus (korupsi), melainkan kasus perdata. Memang perbedaannya sangat tipis antara resiko bisnis dan kerugian negara akan tetapi masih bisa ditelaah. Apabila kasus perdata seperti wanprestasi, maka sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilakukan gugatan perdata terhadap mitra kerja atau gugat pailit supaya perusahaan dapat memperoleh ganti rugi. Sedangkan, pidana khusus lebih pada kelalaian dan ketidakhati-hatian suatu pribadi maupun kelompok baik disengaja maupun tidak disengaja yang menyebabkan kerugian yang cukup besar pada modal perusahaan. Misalnya, kesalahan memilih prosedur pengadaan sehingga menyebabkan proses lelang tidak transparan yang menyebabkan peserta lelang hanya berasal dari kalangan tertentu.

Inilah yang membedakan karakteristik antara BUMN dengan perusahaan swasta. Apabila di perusahaan swasta, dewan direksi yang tidak hati-hati di dalam mengambil kebijakan dapat menimbulkan kerugian perusahaan hanya memiliki konsekuensi kerugian bisnis. Sebaliknya di dalam BUMN akan memiliki konsekuensi kerugian negara. Oleh karena itu, jajaran pimpinan BUMN dan BUMD harus extra hati-hati didalam mengambil kebijakan perusahaan, terutama yang menyangkut dengan keuangan. Artinya, di dalam mengambil kebijakan tidak hanya memperhatikan dampak jangka pendek dan jangka panjang akan tetapi dari segala aspek (terutama hukum).

Seringkali yang terjadi adalah pihak manajemen meremehkan hal tersebut, karena tidak merasa mengeluarkan uang untuk modal. Berbeda dengan swasta yang lebih berhati-hati karena merasa ikut terlibat dalam mencari modal perusahaan.

Antisipasi BUMN

Direksi BUMN sudah seharusnya lebih berhati-hati di dalam mengambil kebijakan bisnis baik dalam hal kerjasama maupun investasi. Misalnya, sebelum melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dilakukan penjajakan terlebih dahulu dengan mitra kerja untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Penjajakan dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan konsultan independen yang dapat menilai kapabilitas dari calon mitra kerja.

Disamping itu peran dari internal perusahaan sangat penting, yakni dari direktorat terkait misalnya direktorat hukum melakukan kajian dari aspek hukum mitra kerja maupun legal drafting terhadap perjanjian yang akan dibuat maupun tim auditor internal perusahaan serta komisaris. Komisaris sebagai pengawas direksi haruslah lebih proaktif untuk mengawasi setiap proyek kerjasama terhadap pihak ketiga, terutama dari aspek hukum dan keuangan.

Demikian halnya dalam hal investasi, tidak ada larangan bagi BUMN dan BUMD untuk melakukan investasi dalam bentuk saham, surat berharga, reksa dana maupun lainnya, akan tetapi investasi tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan analisa mendalam, sehingga tidak merugikan kekayaan negara dikemudian hari, seperti yang terjadi Mantan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi harus rela dibui karena tidak hati-hati di dalam melakukan investasi dalam bentuk Medium Term Note (MTN) sehingga negara dirugikan miliaran rupiah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kendati modal BUMN dan BUMD berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan pertanggungjawabannya laiknya Perseroan Terbatas. Akan tetapi tidak serta merta setiap kerugian di dalam BUMN dan BUMN adalah resiko bisnis, melainkan apabila kerugian tersebut dapat diindetifikasi sebagai kelalaian dan ketidakhati-hatian dari organ badan hukum, maka hal tersebut adalah kerugian negara. Jadi berhati-hatilah!
Google
 
Web www.notariatwatch.tk