Selasa, 08 September 2009

HPL Pemkot, IPT dan Bangunan PT SIP

Membaca berita di rubrik metropolis Jawa Pos berturut-turut pada tanggal 28, 29, 30 dan 31 Agustus 2009 serta 1 September 2009 lalu mengenai pro dan kontra antara PT Surya Inti Permata (SIP) dengan Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) mengenai tanah dan bangunan di Dukuh Kupang Barat, di kawasan Surabaya Selatan mengelitik saya untuk menulis mengenai kajian hukum terhadap permasalahan tersebut.

Di dalam kasus ini, perhatian saya terfokus pada Izin Pemakaian Tanah (IPT), karena dokumen ini dijadikan tolak ukur keabsahan dari PT SIP untuk melaksanakan pembangunan di daerah tersebut.

Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau yang biasa disebut sebagai surat ijo (disebut surat ijo karena warna dokumennya hijau) memang bukanlah dokumen yang asing di kalangan masyarakat Surabaya, karena hampir sebagian masyarakat Surabaya memakai tanah Pemkot Surabaya dengan IPT. Mereka rata-rata menggunakan tanah tersebut untuk rumah tinggal atau tempat bisnis. Sedangkan, untuk mendirikan bangunan mereka juga harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkot Surabaya.

Dokumen IPT bukanlah dokumen kepemilikan tanah seperti halnya sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan, melainkan dokumen izin untuk memakai tanah yang penggunaannya dibatasi oleh waktu. Karena itu, tidak heran apabila Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) Pemkot Surabaya pada waktu-waktu tertentu, banyak didatangi warga yang hendak memperpanjang waktu penggunaan IPT atau balik nama IPT karena jual beli.

Pertanyaannya adalah mengapa masyarakat harus menyewa tanah Pemkot Surabaya? Karena, Pemkot Surabaya telah mendapatkan pelimpahan hak pengelolaan (HPL) dari Pemerintah yang dipergunakan untuk mendukung kegiatan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang menyebutkan bahwa Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.

Hak menguasai adalah hak negara untuk menguasai tanah diseluruh di Indonesia. Hak menguasai ini tidak identik dengan hak memiliki tanah pada zaman penjajahan Belanda yang cenderung menindas rakyat kecil, dengan sistem landrent, culturstelsel maupun domeinverklaring, akan tetapi lebih tepatnya mengatur dan menyelengarakan peruntukan tanah untuk kepentingan bangsa Indonesia. Negara hanya mengatur dan menyelengarakan peruntukan tanah, karena pada hakekatnya tanah di Indonesia adalah milik bangsa Indonesia (hak bangsa) sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 UUPA, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wujud penyelengaraan tersebut adalah dikeluarkannya macam-macam HAT yakni hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha dan hak pakai. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya. Disamping HAT, negara juga dapat melimpahkan sebagian hak penguasaannya kepada instansi, pemerintah daerah dan BUMN dalam rangka mendukung kegiatan usaha dan pemerintahan. Hak penguasaan yang dilimpahkan tersebut dinamakan HPL.

Sekadar diketahui HPL Pemkot Surabaya saat ini mencapai 12,42 juta meter persegi atau 124,21 hektar yang terdapat di 15 kecamatan. Dengan perincian sebagai berikut : Kecamatan Wonokromo (1.147.179,32 m2), menyusul di Kecamatan Krembangan (920.873,15 m2) dan Kecamatan Tegalsari (639.667,03 m2). Seterusnya adalah kecamatan: Dukuh Pakis (493.680,00 m2), Bubutan (438.403,04 m2), Sawahan (308.295,21 m2), Semampir (189.369,87 m2), Sukomanunggal (157.224,16 m2), Simokerto (152.426,58 m2), Genteng (90.977,25 m2), Lakarsantri (54.500,83 m2), Asemrowo (47.708,20 m2), Tandes (30.967,05 m2), Wonocolo (26.346,70 m2) dan Wiyung (20.856,66 m2). Kecamatan lain, seperti Kecamatan Tambaksari, Gubeng dan lain-lainnya di bawah 20 ribu meter per-segi

Lebih lanjut dalam Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan tersebut menyebutkan siapa yang dimaksud pemegang dalam Pasal 1 ayat (3), Pemegang HPL adalah instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, PT. Persero, Badan Otorita dan Badan-Badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.

Pemerintah daerah, yakni Pemkot Surabaya merupakan subyek hukum yang diberikan wewenang oleh negara untuk mengelola tanah tersebut. Bahkan, pemerintah kota dapat menyewakan tanah tersebut kepada pihak ketiga atau masyarakat umum.

Karena itu jika memperhatikan kasus PT SIP dengan Pemkot Surabaya, apabila memang benar PT SIP adalah pemegang IPT yang telah habis masa berlakunya, maka PT SIP harus mengajukan perpanjangan kepada Pemkot Surabaya selaku pemegang HPL. Dan adalah hak dari Pemkot Surabaya untuk memutuskan memperpanjang IPT tersebut atau tidak.

Menurut saya langkah Pemkot Surabaya untuk tidak memperpanjang IPT tersebut adalah tepat, karena tanah tersebut peruntukannya bukanlah untuk pemukiman, melainkan ruang terbuka hijau dan daerah resapan. Apa jadinya tanah yang diperuntukan untuk ruang terbuka hijau dan daerah resapan menjadi daerah pemukiman? Bisa saja yang terjadi adalah banjir. Padahal, kawasan Surabaya Selatan sebelumnya sudah terkenal dengan daerah yang rawan banjir.

Akan tetapi, saya juga tidak menafikan bahwa, Pemkot Surabaya dalam hal ini salah karena terlambat untuk menindak pembangunan. Pasalnya, telah terdapat beberapa bangunan yang dibangun. Seharusnya, pada waktu pembangunan masih tahap pembuatan pondasi rumah atau sejak tahan perencanaan, Pemkot Surabaya sudah menindak sehingga kerugiannya tidak terlalu besar. Tak ayal, apabila permasalahan ini diproses di pengadilan, tentunya hal tersebut dapat menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan.

Status Bangunan

Hukum pertanahan di Indonesia berkiblat hukum adat yang menganut sistem pemisahan horizontal. Artinya, antara bangunan dan tanah dapat berdiri sendiri-sendiri. Karena itu, janganlah heran apabila bangunan yang didirikan di atas tanah HPL Pemkot Surabaya dapat dijaminkan di bank dengan cara fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia ’’Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.’’

Bangunan di atas tanah HPL dapat dibebani dengan fidusia, karena HPL bukan merupakan Hak Atas Tanah (HAT) yang dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana Pasal 4 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. HAT yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai.

Sebagai ilustrasi, si A mempunyai IPT di suatu daerah dengan jangka waktu selama 10 tahun, kemudian si A membangun sebuah rumah. Dalam perjalanannya, si A membutuhkan dana cepat, maka si A dapat menjaminkan bangunan rumahnya ke bank dengan lembaga fidusia.

Tentunya, sebelum menjaminkan si A harus memperoleh izin/rekomendasi dari pemkot Surabaya, karena tanah tempat didirikan bangunan tersebut adalah tanah HPL pemkot Surabaya. Proses perizinan ini bukan hanya pada saat hendak menjaminkan, akan tetapi pada saat mendirikan bangunan pun harus memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB). Kewajiban penyewa tanah biasanya dicantumkan pada klausul-klausul perjanjian. Termasuk, kesediaan untuk mengembalikan tanah pada keadaan semula (tanpa bangunan) setelah masa sewanya telah habis.

Oleh karena itu, kendati hukum pertanahan di Indonesia menganut hukum pemisahan horizontal bukan berarti pemilik bangunan dapat mempertahankan kepemilikan bangunannya. Karena kepemilikan bangunan juga bergantung dengan status tanahnya. Misalnya, untuk bangunan yang dibangun diatas tanah persewaan HPL Pemkot Surabaya, sangat bergantung dengan jangka waktu IPT. Apabila jangka waktu IPT habis, dan Pemkot Surabaya tidak memperbolehkan penyewa untuk memperpanjang, maka pemilik bangunan harus memindahkan bangunan atau meninggalkan bangunan. Dan, apabila pemilik bangunan tidak meninggalkan bangunan tersebut, maka pemilik tanah berhak untuk mengusir dan mengosongkan bangunan tersebut, karena bangunan tersebut didirikan diatas tanah yang bukan lagi sebagai hak sewanya.

Berkenaan dengan kasus Pemkot Surabaya dengan PT. SIP, maka apabila memang benar IPT PT SIP telah habis masa berlakunya, Pemkot Surabaya berhak untuk melakukan pengosongan terhadap bangunan yang masih berada diatasnya.
Google
 
Web www.notariatwatch.tk