Selasa, 08 September 2009

HPL Pemkot, IPT dan Bangunan PT SIP

Membaca berita di rubrik metropolis Jawa Pos berturut-turut pada tanggal 28, 29, 30 dan 31 Agustus 2009 serta 1 September 2009 lalu mengenai pro dan kontra antara PT Surya Inti Permata (SIP) dengan Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) mengenai tanah dan bangunan di Dukuh Kupang Barat, di kawasan Surabaya Selatan mengelitik saya untuk menulis mengenai kajian hukum terhadap permasalahan tersebut.

Di dalam kasus ini, perhatian saya terfokus pada Izin Pemakaian Tanah (IPT), karena dokumen ini dijadikan tolak ukur keabsahan dari PT SIP untuk melaksanakan pembangunan di daerah tersebut.

Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau yang biasa disebut sebagai surat ijo (disebut surat ijo karena warna dokumennya hijau) memang bukanlah dokumen yang asing di kalangan masyarakat Surabaya, karena hampir sebagian masyarakat Surabaya memakai tanah Pemkot Surabaya dengan IPT. Mereka rata-rata menggunakan tanah tersebut untuk rumah tinggal atau tempat bisnis. Sedangkan, untuk mendirikan bangunan mereka juga harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkot Surabaya.

Dokumen IPT bukanlah dokumen kepemilikan tanah seperti halnya sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan, melainkan dokumen izin untuk memakai tanah yang penggunaannya dibatasi oleh waktu. Karena itu, tidak heran apabila Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) Pemkot Surabaya pada waktu-waktu tertentu, banyak didatangi warga yang hendak memperpanjang waktu penggunaan IPT atau balik nama IPT karena jual beli.

Pertanyaannya adalah mengapa masyarakat harus menyewa tanah Pemkot Surabaya? Karena, Pemkot Surabaya telah mendapatkan pelimpahan hak pengelolaan (HPL) dari Pemerintah yang dipergunakan untuk mendukung kegiatan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang menyebutkan bahwa Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.

Hak menguasai adalah hak negara untuk menguasai tanah diseluruh di Indonesia. Hak menguasai ini tidak identik dengan hak memiliki tanah pada zaman penjajahan Belanda yang cenderung menindas rakyat kecil, dengan sistem landrent, culturstelsel maupun domeinverklaring, akan tetapi lebih tepatnya mengatur dan menyelengarakan peruntukan tanah untuk kepentingan bangsa Indonesia. Negara hanya mengatur dan menyelengarakan peruntukan tanah, karena pada hakekatnya tanah di Indonesia adalah milik bangsa Indonesia (hak bangsa) sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 UUPA, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wujud penyelengaraan tersebut adalah dikeluarkannya macam-macam HAT yakni hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha dan hak pakai. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya. Disamping HAT, negara juga dapat melimpahkan sebagian hak penguasaannya kepada instansi, pemerintah daerah dan BUMN dalam rangka mendukung kegiatan usaha dan pemerintahan. Hak penguasaan yang dilimpahkan tersebut dinamakan HPL.

Sekadar diketahui HPL Pemkot Surabaya saat ini mencapai 12,42 juta meter persegi atau 124,21 hektar yang terdapat di 15 kecamatan. Dengan perincian sebagai berikut : Kecamatan Wonokromo (1.147.179,32 m2), menyusul di Kecamatan Krembangan (920.873,15 m2) dan Kecamatan Tegalsari (639.667,03 m2). Seterusnya adalah kecamatan: Dukuh Pakis (493.680,00 m2), Bubutan (438.403,04 m2), Sawahan (308.295,21 m2), Semampir (189.369,87 m2), Sukomanunggal (157.224,16 m2), Simokerto (152.426,58 m2), Genteng (90.977,25 m2), Lakarsantri (54.500,83 m2), Asemrowo (47.708,20 m2), Tandes (30.967,05 m2), Wonocolo (26.346,70 m2) dan Wiyung (20.856,66 m2). Kecamatan lain, seperti Kecamatan Tambaksari, Gubeng dan lain-lainnya di bawah 20 ribu meter per-segi

Lebih lanjut dalam Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan tersebut menyebutkan siapa yang dimaksud pemegang dalam Pasal 1 ayat (3), Pemegang HPL adalah instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, PT. Persero, Badan Otorita dan Badan-Badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.

Pemerintah daerah, yakni Pemkot Surabaya merupakan subyek hukum yang diberikan wewenang oleh negara untuk mengelola tanah tersebut. Bahkan, pemerintah kota dapat menyewakan tanah tersebut kepada pihak ketiga atau masyarakat umum.

Karena itu jika memperhatikan kasus PT SIP dengan Pemkot Surabaya, apabila memang benar PT SIP adalah pemegang IPT yang telah habis masa berlakunya, maka PT SIP harus mengajukan perpanjangan kepada Pemkot Surabaya selaku pemegang HPL. Dan adalah hak dari Pemkot Surabaya untuk memutuskan memperpanjang IPT tersebut atau tidak.

Menurut saya langkah Pemkot Surabaya untuk tidak memperpanjang IPT tersebut adalah tepat, karena tanah tersebut peruntukannya bukanlah untuk pemukiman, melainkan ruang terbuka hijau dan daerah resapan. Apa jadinya tanah yang diperuntukan untuk ruang terbuka hijau dan daerah resapan menjadi daerah pemukiman? Bisa saja yang terjadi adalah banjir. Padahal, kawasan Surabaya Selatan sebelumnya sudah terkenal dengan daerah yang rawan banjir.

Akan tetapi, saya juga tidak menafikan bahwa, Pemkot Surabaya dalam hal ini salah karena terlambat untuk menindak pembangunan. Pasalnya, telah terdapat beberapa bangunan yang dibangun. Seharusnya, pada waktu pembangunan masih tahap pembuatan pondasi rumah atau sejak tahan perencanaan, Pemkot Surabaya sudah menindak sehingga kerugiannya tidak terlalu besar. Tak ayal, apabila permasalahan ini diproses di pengadilan, tentunya hal tersebut dapat menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan.

Status Bangunan

Hukum pertanahan di Indonesia berkiblat hukum adat yang menganut sistem pemisahan horizontal. Artinya, antara bangunan dan tanah dapat berdiri sendiri-sendiri. Karena itu, janganlah heran apabila bangunan yang didirikan di atas tanah HPL Pemkot Surabaya dapat dijaminkan di bank dengan cara fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia ’’Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.’’

Bangunan di atas tanah HPL dapat dibebani dengan fidusia, karena HPL bukan merupakan Hak Atas Tanah (HAT) yang dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana Pasal 4 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. HAT yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai.

Sebagai ilustrasi, si A mempunyai IPT di suatu daerah dengan jangka waktu selama 10 tahun, kemudian si A membangun sebuah rumah. Dalam perjalanannya, si A membutuhkan dana cepat, maka si A dapat menjaminkan bangunan rumahnya ke bank dengan lembaga fidusia.

Tentunya, sebelum menjaminkan si A harus memperoleh izin/rekomendasi dari pemkot Surabaya, karena tanah tempat didirikan bangunan tersebut adalah tanah HPL pemkot Surabaya. Proses perizinan ini bukan hanya pada saat hendak menjaminkan, akan tetapi pada saat mendirikan bangunan pun harus memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB). Kewajiban penyewa tanah biasanya dicantumkan pada klausul-klausul perjanjian. Termasuk, kesediaan untuk mengembalikan tanah pada keadaan semula (tanpa bangunan) setelah masa sewanya telah habis.

Oleh karena itu, kendati hukum pertanahan di Indonesia menganut hukum pemisahan horizontal bukan berarti pemilik bangunan dapat mempertahankan kepemilikan bangunannya. Karena kepemilikan bangunan juga bergantung dengan status tanahnya. Misalnya, untuk bangunan yang dibangun diatas tanah persewaan HPL Pemkot Surabaya, sangat bergantung dengan jangka waktu IPT. Apabila jangka waktu IPT habis, dan Pemkot Surabaya tidak memperbolehkan penyewa untuk memperpanjang, maka pemilik bangunan harus memindahkan bangunan atau meninggalkan bangunan. Dan, apabila pemilik bangunan tidak meninggalkan bangunan tersebut, maka pemilik tanah berhak untuk mengusir dan mengosongkan bangunan tersebut, karena bangunan tersebut didirikan diatas tanah yang bukan lagi sebagai hak sewanya.

Berkenaan dengan kasus Pemkot Surabaya dengan PT. SIP, maka apabila memang benar IPT PT SIP telah habis masa berlakunya, Pemkot Surabaya berhak untuk melakukan pengosongan terhadap bangunan yang masih berada diatasnya.

Rabu, 24 Juni 2009

Hukum Investasi: Sosialis yang Neolib

Akhir-akhir ini masyarakat sering mendengar kata-kata asing Neo Liberalisme. Mengapa saya sebut kata-kata asing? Karena mungkin bagi sebagian orang yang berpendidikan kata-kata tersebut mudah dimengerti. Akan tetapi, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan pasti membingungkan. Karena itu tidak heran jika salah satu tim sukses capres berupaya memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai makna dari kata-kata asing tersebut, sebelum dijadikan komoditi lawan politik untuk menjatuhkan pamor pasangan capres tersebut..

Kata Neo Liberalisme berasal dari kata liberalisme. Liberalisme adalah konsep ekonomi berdasarkan pasar bebas. Menurut Adam smith, pasar bebas adalah jalan terbaik bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini memicu free enterprises dan free competition yang dapat diartikan sebagai kebebasan bagi kapitalis untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya (Rubrik Opini JP, 8 Juni 2009). Tidak heran banyak kalangan, utamanya mahasiswa yang menolak konsep liberalisme, karena konsep tersebut menyebabkan banyak aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dijual kepada asing, karena tidak mampu bersaing. Masih ingat pada saat era Menteri BUMN Laksamana Sukardi, beberapa BUMN, diantaranya TELKOM dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) Air di Jakarta diprivatisasi atau sebagian besar sahamnya dijual kepada asing. Hal ini bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945,’’Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat…’’

Ekonomi Kerakyatan
Konsep ekonomi Negara Indonesia apabila diperhatikan dari konstitusi Pasal 33 UUD 1945 menganut sistem ekonomi sosialis, karena negara ikut mengatur pelaksanaan sistem ekonomi di negara tersebut, misalnya negara mengatur mengenai tarif listrik, harga BBM (Bahan Bakar Minyak), tarif jasa kepelabuhanan, barang yang dapat diimpor dan diekspor dan lainnya. Pengaturan oleh Negara tersebut dilimpahkan kepada badan-badan usaha milik pemerintah, seperti BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD. Tujuannya adalah pemerintah dapat mengatur bumi, air, dan kekayaan alam di Indonesia untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.

Kendati demikian, pelaksanaan di lapangan sistem ekonomi sosialis ini tidak sepenuhnya dilaksanakan secara murni dan konsisten, negara tetap membuka kran-kran investasi untuk masuk ke Indonesia. Hal ini dikarenakan, negara tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan industri lokal, dana dan tenaga untuk mengeksplor kekayaan alam di Indonesia serta membangun infrastruktur, sehingga harus mendatangkan investor asing, diantaranya Freeport, Exxon, Shell, dan lainnya. Kondisi tersebut sejalan dengan teori Penanaman Modal Asing (PMA) Neo-Classical Economic Theory yang mengutamakan sisi positif dari FDI (Foreign Direct Investment) terhadap host country (negara penerima investasi). Sisi positif tersebut diantaranya, penanam modal asing biasanya membawa modal ke host country yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas formasi di host country, aliran modal dan penanaman modal kembali keuntungan mendorong peningkatan ’’total saving’’ di host country, pendapatan pemerintah meningkat melalui pajak dan pembayaran, transfer technology, managerial dan marketing skills, market information dan lainnya. Sayangnya teori tersebut tidak monitor dengan baik, sehingga banyak penyalagunaan yang justru merugikan host country, diantaranya mengenai pencemaran lingkungan, kesenjangan sosial dan konflik sosial serta eksploarsi yang tidak terdata. Kondisi inilah yang mendorong para politisi untuk menggunakan ’’kesempatan’’ tersebut untuk memproklamirkan agar negara kembali kepada ekonomi kerakyatan yang berlandaskan pada konstitusi dan Pancasila.

Neoliberalisme Bukan Neokolonialisme
Neoliberalisme bukanlah Neokolonialisme, karena Neo Kolonialisme adalah bentuk penjajahan (kolonialisme) baru (neo). Pejajahan tersebut berupa penjajahan ekonomi, seperti masuknya produk-produk asing sehingga dapat menghancurkan produk-produk dalam negeri karena kalah bersaing. Sedangkan, Neoliberalisme dapat dikatakan adalah sebuah ekonomi liberal yang telah dimodifikasi (baru) sehingga negara dalam hal tertentu dapat melakukan intervensi. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi pelaksanaan sistem ekonomi yang keblabasan dan berakibat krisis ekonomi.

Neoliberalisme ini tidak lepas gagasan dari John Maynard Keynes yang menyatakan bahwa pemerintah dan bank sentral harus turut campur dalam perekonomian agar tercapai kesempatan kerja atau full employment. Gagasan ini sering dikaitkan dengan Washington Consensus yang terdiri dari liberalisasi pasar, peningkatan FDI, privatisasi, deregulasi, disiplin fiskal, tax reform, subsidi pemerintah agar tepat sasaran (untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur), liberalisasi suku bunga, kurs yang kompetitif, dan penghargaan pada property right (Rubrik Opini JP, 8 Juni 2009).

Kendati terdapat intervensi pemerintah dan bank sentral, konsep Neoliberalisme dinilai masih terlalu bebas bagi negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang belum siap untuk menghadapi neoliberalisme, karena kondisi usaha kecil lebih besar dibandingkan usaha besar. Hal ini dapat mengakibatkan usaha kecil akan semakin terhimpit dan usaha besar semakin besar karena mereka memiliki kapital yang besar, pangsa pasar yang luas dan teknologi.

Neoliberalisme Versi Indonesia
Kendati Indonesia merupakan negara yang memiliki basic sosialis sesuai Pasal 33 UUD 1945, namun secara tidak langsung Indonesia telah menerapkan neoliberalisme, Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia tidak lepas dari Washington Consensus, diantaranya privatisasi terhadap BUMN dan BUMD, deregulasi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, peningkatan FDI dengan mengundang para investor untuk datang dan berinvestasi di Indonesia, subsidi terhadap pendidikan sebesar 20% dari APBN, kesehatan infrastruktur maupun hak atas kekayaan intelektual yang berada di bawah naungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebenarnya yang terpenting bukanlah membahas mengenai ekonomi kerakyatan atau neoliberalisme, akan tetapi bagaimana mengemas sebuah kebijakan untuk mengatur dua sistem tersebut sehingga dapat harmonis serta memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan.

Masih Relevankah Pasal 1519 BW?

Beberapa waktu yang lalu, Dosen Teknik Perancangan Kontrak (TPK) saya, memberikan isu hukum mengenai jual beli dengan hak membeli kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 1519 BW. Kemudian, dosen saya memberikan dasar putusan Mahkamah Agung diantaranya, Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Februari 1983, Nomor 3804 K/Sip/1981 tentang Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 20 Maret 1989, Nomor 381 PK/Pdt/1986 tentang Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali. Menurut putusan –putusan tersebut perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali yang diatur dalam Pasal 1519 BW, adalah tidak diperbolehkan, karena beberapa hal, pertama mengandung unsur riba. Unsur riba disini dapat diartikan bahwa, pembeli menggunakan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, sebagai sarana untuk ’’memanfaatkan’’ penjual, dengan cara meningkatkan harga beli barang. Kedua, perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali adalah perjanjian hutang-piutang yang terselubung (semu). Artinya, bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali sebenarnya adalah perjanjian hutang piutang, yakni pemberian pinjaman dengan jaminan. Ketiga, perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali bertentangan dengan hukum adat, karena hukum adat tidak mengenal jual beli dengan hak untuk membeli kembali.

Bagi saya putusan tersebut menimbulkan pertanyaan besar, karena setelah saya teliti tidak ada yang salah dari Pasal 1519 BW, ’’kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang dijualnya, dengan mengembalikan harga pembelian asal yang disertai penggantian yang disebutkan dalam Pasal 1532 BW. Penggantian di dalam Pasal 1532 adalah penggantian biaya menyelengarakan pembelian dan penyerahan serta perbaikan terhadap barang tersebut.

Pasal tersebut melindungi hak penjual untuk mengambil kembali barang yang dijual sesuai harga pembelian asal ditambah biaya pengantian. Menurut saya biaya penggantian adalah hal yang wajar, pembeli tentunya membutuhkan biaya administrasi atau pemeliharaan untuk menjaga dan memperbaiki barang tersebut. Misalnya, biaya pembuatan akta dan memelihara obyek perjanjian.

Apabila diperhatikan dari putusan-putusan tersebut, majelis hakim tidak memperbolehkan penggunaan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali karena alasan tertentu (kausitif) atau motif, yakni alasan yang bertentangan undang-undang, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Artinya, apabila tidak bertentangan perjanjian tersebut sebenarnya dapat dilaksanakan, Apalagi tujuan utama dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, adalah untuk menolong golongan ekonomi lemah untuk memperoleh kredit.

Dengan demikian perjanjian jual beli dengan hak untuk menjual diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 BW) serta syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 BW).

Pasal 1519 BW Tidak Bertentangan dengan Hukum Adat

Prinsip pelaksanaan jual beli tanah di dalam UUPA tidak lepas dari hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPA ’’Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat …’’ Karena itu Konsep jual beli tanah dalam hukum ada bersifat kongkret, kontan nyata dan riil.

Konkret/nyata/ riil serta kontan artinya tanah yang diperjual belikan harus diserahkan pada pembeli seketika pembayaran telah dilakukan.

Sejalan dengan pemikiran Boedi Harsono tentang pengertian jual beli tanah. Pengertian jual beli adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk dalam hukum agraria atau hukum tanah.

Selain bersifat konkret/nyata/riil dan kontan, jual beli tanah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu syarat materiil dan syarat formil.

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut :

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan.

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.

Sedangkan mengenai syarat formil, dilakukan setelah persyaratan materiil dipenuhi.

Pelaksanaan syarat formil dilakukan oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta berkaitan dengan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juga telah mengatur bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.

Disamping itu, peraturan tersebut menyebutkan bahwa dengan dibuatnya akta jual beli tanah oleh PPAT, pada saat itu juga hak sudah beralih dari penjual kepada pembeli. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum adat.

Berdasarkan penjelasan diatas, kami berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung yang menyatakan jual beli dengan hak membeli kembali tidak dikenal dalam hukum adat adalah kurang tepat, karena jual beli tersebut telah dilakukan sesuai dengan prinsip hukum adat sehingga sah secara hukum. Hanya saja terdapat klausul hak membeli kembali yang tidak dikenal dalam hukum adat.

Seharusnya klausul hak untuk membeli kembali dimaknai sebagai klausul ikutan (accesoir) yang terpisah dari perjanjian utama, Misalnya, debitor dapat membuat pernyataan yang isinya akan membeli kembali persil selambat-lambatnya dalam jangka waktu dan harga tertentu yang telah disepakati.

Hal ini sama dengan metode ikatan jual beli yang dewasa ini sering digunakan untuk membeli persil dimana pembeli belum dapat melunasi harga, sehingga sisa pembayaran diangsur secara bertahap pada pengembang. Apabila pembayaran telah lunas baru dibuat akta jual beli dihadapan PPAT.
Dengan demikian jual beli tanah dengan hak membeli kembali tetap sah, apabila dilakukan perjanjian secara terpisah dan sesuai asas kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 BW) serta syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 BW).

Okupasi Bukanlah Profesi

Di dalam perbincangan dalam bahasa Inggris sehari-hari tentunya anda sering mendengar kalimat, what’s your occupation?

Occupation menurut kamus bahasa Inggris-Indonesia berarti okupasi, pekerjaan atau kesibukan. Misalnya si A bekerja sebagai nelayan, si B beraktivitas sebagai pegiat sosial, si C sebagai desainer, si D sebagai Dokter, si F sebagai Notaris dsb-nya.

Okupasi juga dapat berarti penguasaan kembali. Misalnya dalam kutipan kalimat berikut ’’…PT. Perkebunan Nusantara II melaksanakan penguasaan kembali atau okupasi seluruh lahan dalam areal hak guna usaha yang sekarang digarap warga…’’ Kemudian di dalam hukum internasional, okupasi berarti penanaman kedaulatan suatu negara di wilayah yang dikuasai oleh sesuatu negara.

Dalam paper ini, saya tidak akan membahas mengenai penguasaan kembali, akan tetapi membahas okupasi yang berarti pekerjaan atau kesibukan, karena berkenaan dengan tugas Teknik Pembuatan Akta (TPA) III yang sedang mengulas gambaran kerja dari okupasi dan profesi Notaris.

Seringkali apabila anda ditanya mengenai pekerjaan atau aktifitas anda tentunya akan menjawab pekerjaan anda sekarang. Misalnya bekerja sebagai nelayan, beraktivitas sebagai pegiat sosial, desainer, Notaris dsb-nya. Apakah hal tersebut sudah tepat? Mungkin apabila ditanya pekerjaan, jawaban tersebut adalah tepat. Akan tetapi, apabila anda ditanya apakah profesi anda? Maka jawaban tersebut belum tentu tepat, karena profesi adalah pekerjaan yang memiliki karakteristik tertentu.

Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknikdan desainer

Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.

Karakteristik Profesi
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi:

1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktek.

2. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.

3. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.

4. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.

5. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.

6. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.

7. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.

8. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.

9. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.

10. Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.

11. Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.

Apakah Notaris adalah profesi?
Notaris adalah profesi karena pekerjaan tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yakni diantaranya seorang Notaris dituntut memiliki keterampilan khusus didalam membuat akta otentik dan keterampilan tersebut diperoleh dari suatu pendidikan khusus, seperti Magister Kenotariatan. Notaris, notaris memiliki organisasi tunggal, yakni Ikatan Notaris Indonesia (INI), ujian kompetensi melalui ujian kuartal dan tesis, memberikan layanan kepada publik dengan memberikan penyuluhan hukum dan pembuatan akta, memiliki kode etik, mendapatkan uang kehormatan atau honorarium.

Daftar Pustaka

www.kompas .com 21 Juli 2005

Kamushukum.com

books.google.co.id, Buku SDM Yang Produktif, A. Hamid Mursi, Julizar Firmansyah

http://id.wikipedia.org/wiki/Profesi

.
Google
 
Web www.notariatwatch.tk