Senin, 06 September 2010

PT KEBUN BINATANG SURABAYA

Memori akan Kebun Binatang Surabaya (KBS) selalu membekas diingatan saya. Pasalnya, waktu kecil, saya, adik dan kakak sering diajak orang tua kesana. Saya masih ingat waktu naik gajah keliling lapangan, melihat ikan duyung, melihat ular phyton (sawah) yang melilit dahan pohon, kuda nil yang menguap atau harimau yang tertidur pulas diantara bebatuan buatan. Kami sekeluarga benar-benar menikmati saat-saat tersebut karena saat-saat tersebut adalah pertama kali kami melihat dan menyentuh satwa secara nyata dan bisa mengenal mereka (satwa) lebih dekat.

Kebun binatang pada saat itu merupakan salah satu tempat rekreasi yang ideal, disamping koleksi satwanya yang cukup lengkap, suasananya yang menyejukan karena dikelilingi dengan pohon-pohon yang rindang serta taman-taman bermain. Tak heran hingga saat ini KBS masih menjadi tujuan wisata bagi masyarakat Surabaya dan kota-kota disekitarnya.

Namun, kini saya harus bersedih, karena satu persatu koleksi satwa KBS sakit dan mati tanpa sebab yang jelas, diantaranya, harimau, kanguru, kera ungko betina dan anak babi rusa. Akibatnya, arti KBS pun lambat laun berubah menjadi Kebun Binatang Sakit (KBS) karena banyak satwa yang dikarantinakan karena sakit. Peristiwa tersebut memunculkan berbagai spekulasi penyebab kematian satwa-satwa tersebut diantaranya adalah karena konflik internal pengurus KBS yang berkepanjangan sehingga menyebabkan satwa-satwa KBS tidak terurus dengan baik.

Konflik internal tersebut mendorong DPRD Surabaya meminta Pemkot Surabaya untuk turun tangan untuk menata dan mengelola KBS dengan baik, salah satunya dengan memunculkan wacana untuk menjadikan KBS sebagai BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).

Ide untuk menjadikan KBS menjadi BUMD dapatlah disebut sebagai alternatif pengelolaan KBS dan patut dicoba, karena dengan berbentuk BUMD, maka KBS dapat berbentuk PT (Perseroan Terbatas) yang tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Kelebihan Perseroan Terbatas

Kebun Binatang Surabaya saat ini dikelola oleh Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya (PTFSS). Dibandingkan dengan bentuk perkumpulan PT (Perseroan) memiliki beberapa kelebihan, pertama berbentuk badan hukum yang modalnya berupa saham. Dalam hal ini adalah kekayaan daerah (APBD) yang dipisahkan. Artinya, modal perseroan terpisah dengan kekayaan para organnya. Kedua, di dalam Perseroan terdapat tiga organ (Direksi, Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)). RUPS adalah organ tertinggi dari Perseroan. Kewenangan masing-masing organ diatur di dalam anggaran dasar/ akta pendirian perseroan. Direksi adalah orang yang melakukan tindakan pengurusan perseroan, misalnya dalam pengelolaan KBS dibentuk Direktur Pemeliharaan fasilitas untuk memelihara fasilitas KBS, Direktur Keuangan untuk mengelola keuangan KBS, Direktur Perawatan Kesehatan Hewan yang bertanggung jawab perawatan satwa, Direktur Komersial yang bertugas mencari pendapatan dan Direktur SDM yang bertanggungjawab terhadap pengembangan SDM. Masing-masing direktur memiliki kewenangan yang telah diatur di dalam anggaran dasar. Tugas-tugas direksi telah digariskan dalam rencana jangka pendek dan panjang yang telah ditentukan dalam RUPS. Kemudian, tugas Dewan Komisaris adalah mengawasi pelaksanaan pengurusan oleh Direksi agar sejalan dengan rencana dan target jangka pendek dan panjang yang telah ditentukan dalam RUPS. Fungsi pengawasan tidak hanya dilakukan internal perseroan akan tetapi juga eksternal seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan atau akuntan publik yang ditunjuk. Sedangkan, RUPS lebih pada kebijakan yang sifatnya sangat menentukan dan menyangkut kepentingan perseroan, misalnya pengangkatan dan pemberhentian direksi dan dewan komisaris, penjualan dan pembelian aset atau rencana merger dan lainnya. Disamping itu, BUMD berkewajiban menjalankan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik), yakni Transparency (Keterbukaan Informasi), Accountability (Akuntabilitas), Responsibility (Pertanggungjawaban), Indepandency (Kemandirian) dan Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran) yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.

Perkumpulan untuk Sosial

Berbeda dengan perkumpulan. Perkumpulan bukan bentuk badan usaha, melainkan kelompok sosial (tidak bertujuan untuk mencari profit/keuntungan). Aktifitas perkumpulan biasanya disokong dari iuran dari para anggota atau kegiatan penggalangan dana, misalnya perkumpulan musik, para anggota mengadakan acara musik untuk mengumpulkan dana bagi para korban bencana alam. Pertanggungjawaban perkumpulan adalah tanggung renteng. Perkumpulan diatur dalam Pasal 1653-1665 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek).

Perkumpulan yang dijalankan KBS saat ini menurut saya setengah-setengah, karena disatu sisi menarik iuran ke masyarakat melalui tiket masuk tapi juga mengkomersilkan wahana di dalamnya, misalnya wahana naik Gajah dan Unta atau lainnya. Hal ini mungkin yang menyebabkan pengelolaan KBS tidak maksimal. Misalnya, dimana kian hari kebutuhan akan pemeliharaan fasilitas (kebersihan dan perbaikan) semakin meningkat berikut kebutuhan makanan dan perawatan kesehatan satwa, KBS hanya mengandalkan pemasukan dari tiket dan pengelolaan wahana. Pihak KBS tidak ‘bebas’ untuk menaikkan tiket atau berinovasi di dalam mencari dana, karena stigma sosial yang telah melekat dari perkumpulan.

CSR

Sebenarnya di dalam pengelolaan BUMD juga memiliki fungsi sosial yang di dalam hukum perseroan dikenal istilah CSR (Corporate Social Responsibility). Perseroan berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan menganggarkan sekian persen dari keuntungan perseroan sesuai asas kepatutan untuk kepentingan sosial dan lingkungan, diantaranya pembangunan tempat Mandi Cuci Kakus (MCK), rumah ibadah, dan bantuan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Oleh karena itu dengan berbentuk Perseroan, maka pengelola (PT KBS kalau sudah berbentuk PT) lebih ‘bebas’ untuk berinovasi di dalam mencari dan mengelola pendapatan sehingga lebih mandiri dan kompetitif. Hal Ini merupakan tantangan bagi organ perseroan, karena untuk memperoleh pendapatan mereka harus berkerja maksimal, misalnya pertama dengan meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam melakukan perawatan satwa dengan baik sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih dini terhadap suatu penyakit dan tidak terjadi penularan baik diantara satwa dan pengunjung, kedua berinovasi mencari pendapatan dengan mengadakan even-even yang dapat menarik pengunjung, seperti even lomba-lomba mewarnai, even musik anak, fashion show dll.

Go Public

Tidak menutup kemungkinan dengan berbentuk perseroan, KBS bisa lebih mandiri dan bisa bersaing dengan Taman Safari Prigen, karena mereka tidak lagi bergantung subsidi dari pemerintah melainkan terpacu untuk mengelola modal dan pendapatan mereka secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya. Apabila KBS sudah maju, PT KBS dapat go public. Artinya, sahamnya dapat dimiliki oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih memiliki KBS.

Rabu, 18 Agustus 2010

Legalisir yang Salah Kaprah

’’Dua investor di bidang jasa kepelabuhanan telah bersepakat untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Mereka menuangkan kesepakatan tersebut di dalam perjanjian di bawah tangan (tidak notariil). Usai penandatanganan, salah seorang investor memerintah anak buahnya untuk dilegalisir di Notaris untuk dicatatkan’’

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa masih lemahnya pemahaman masyarakat akan arti dari legalisir, karena pengertian dari legalisir sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), adalah berkaitan dengan kewenangan dari Notaris untuk melakukan pengesahan kecocokan foto copi dengan surat aslinya. Sedangkan, maksud dari investor tersebut lebih tepatnya adalah waarmerken atau mencatatkan perjanjian di bawah tangan di buku khusus Notaris. Disamping notaris, instansi yang bewenang juga dapat mengeluarkan legalisir. Misalnya, kepala sekolah atau dekan yang melegalisir fotocopy ijasah para murid atau mahasiswanya, atau catatan sipil yang melegalisir fotocopy akta kelahiran.

Selain itu, masyarakat seringkali menyamakan arti legalisir dengan legalisasi. Padahal sebetulnya berbeda. Di dalam dunia kenotariatan pengertian legalisasi diatur dalam Pasal 15 ayat 2 UU JN yang berarti mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Artinya, di dalam pembuatan perjanjian di bawah tangan, para pihak melakukan penandatangan perjanjian di bawah tangan dihadapan notaris sehingga notaris dapat mengesahkan tanda tangan dan tanggal penandatangan.

Implikasi Hukum Waarmerken, Legalisir dan Legalisasi

Warmeken menurut Tan Thong Kie dalam bukunya Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, menyebutkan Waarmerken atau verklaring van visum adalah memberikan tanggal pasti (date certain), yaitu suatu keterangan bahwa notaris telah melihat (gezien) akta di bawah tangan itu pada hari itu. Artinya pada tanggal tersebut notaris benar-benar melihat akta tersebut ada dan mencatatnya pada buku khusus (bukan tanggal ditandatangani akta di bawah tangan). Implikasi hukum Waarmeken terhadap notaris tidak besar karena notaris hanya mencatat tanggal pasti notaris tersebut melihat akta di bawah tangan tersebut. Hal ini berbeda dengan legalisasi. Kendati notaris tidak ikut membuat akta di bawah tangan, namun memiliki tanggung jawab yang cukup besar, karena di dalam legalisasi notaris harus mengenal orang yang membubuhkan tandatangannya; menjelaskan isi akta itu (voorhouden) kepada orangnya (para pihak); dan para pihak membubuhkan tanda tangannya di hadapan notaris. Artinya, notaris benar-benar melihat, menjelaskan akta di bawah tangan dan ikut menyaksikan penandatangan.

Sementara itu legalisir meski hanya mencocokan antara copy dengan asli, justru memiliki implikasi yang jauh lebih besar karena maraknya dokumen-dokumen palsu, seperti ijasah palsu. Hal ini bisa aja terjadi karena notaris tidak memiliki kewajiban untuk memeriksa keaslian dari dokumen. Misalnya, dengan melakukan komunikasi dengan instansi yang menerbitkan dokumen tersebut. Jadi berhati-hatilah!

Senin, 19 Juli 2010

Seputar Hak Pengelolaan

Beberapa kali media massa lokal Surabaya memberitakan permasalahan terkait Hak Pengelolaan, pertama adalah proses perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) PT Ketabangkali yang berada di Hak Pengelolaan PT SIER (Persero) yang berujung dijadikannya Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II, Indra Iriansyah, sebagai tersangka karena dianggap bertanggungjawab atas dugaan korupsi Rp. 600 juta terkait perpanjangan HGB di kawasan Industri Surabaya Industrial Estate Rungkut, kedua adalah pro dan kontra antara PT Surya Inti Permata (SIP) dengan Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) mengenai tanah dan bangunan di Dukuh Kupang Barat, di kawasan Surabaya Selatan dan yang terakhir dan paling hangat adalah permasalahan pengelolaan kebun bibit antara Pemkot Surabaya dengan PT SIP.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan (HPL) dan bagaimana asal muasal dari HPL. Hak Pengelolaan menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Istilah Hak Pengelolaan berasal dari hak penguasaan yang diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, yakni hak yang diberikan pemerintah kepada suatu kementerian atau jawatan atau daerah swatantra untuk keperluan dan peruntukkan kepentingan tertentu dari kementerian atau jawatan maupun kepentingan daerah swatantra.
Pakar hukum pertanahan AP. Parlindungan menyebutkan bahwa Istilah Hak Pengelolaan itu tidak dari semula bernama Hak Pengelolaan tetapi mengambil terjemahan dari bahasa Belanda Beheersrecht, maka pada waktu itu diterjemahkan sebagai hak penguasaan. Hak penguasaan sendiri berasal dari makna hak menguasai dari Negara yang merupakan perwujudan dari asal muasal hukum pertanahan di Indonesia.

Domeinverklaring

Dahulu, di era penjajahan Belanda, hak menguasai Negara dimaknai sebagai hak pemerintah Belanda untuk memiliki tanah-tanah rakyat Indonesia yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya atau lebih dikenal dengan domeinverklaring.
Namun demikian, kondisi ini tidak berlangsung lama, karena pada saat masa kemerdekaan Indonesia politik hukum pertanahan telah berubah, yaitu makna menguasai dari Hak Menguasai Negara bukan lagi berarti memiliki akan tetapi mengelola demi kepentingan masyarakat Indonesia, karena tanah di wilayah Indonesia adalah milik dan hak bangsa Indonesia sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), ’’Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia’’.
Negara hanya mengatur dan menyelengarakan peruntukan tanah, karena pada hakekatnya tanah di Indonesia adalah milik bangsa Indonesia (hak bangsa) sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 UUPA, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wujud penyelengaraan tersebut adalah dikeluarkannya macam-macam HAT, yakni Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya. Disamping HAT, Negara juga dapat melimpahkan sebagian hak penguasaannya kepada instansi, pemerintah daerah dan BUMN.

Ijin Pemakaian Tanah (IPT)

Pemerintah Kota Surabaya merupakan salah satu daerah swatantra yang memperoleh pelimpahan hak pengelolaan (HPL) dari Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang menyebutkan bahwa Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Tujuannya adalah untuk mendukung kegiatan pemerintahan. Disamping untuk mendukung kegiatan pemerintahan, Pemkot Surabaya dapat menyewakan/memberikan penggunaan bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga atau masyarakat umum.

Bentuk sewa/pemberian hak bagian tanah HPL berupa Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau yang biasa disebut sebagai surat ijo (disebut surat ijo karena warna dokumennya hijau). Izin Pemakaian Tanah memang bukanlah dokumen yang asing di kalangan masyarakat Surabaya, karena hampir sebagian masyarakat Surabaya memakai tanah Pemkot Surabaya dengan IPT. Mereka rata-rata menggunakan tanah tersebut untuk rumah tinggal atau tempat bisnis. Sedangkan, untuk mendirikan bangunan mereka juga harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkot Surabaya.

Dokumen IPT bukanlah dokumen kepemilikan tanah seperti halnya sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan, melainkan dokumen izin untuk memakai tanah yang penggunaannya dibatasi oleh waktu. Karena itu, tidak heran apabila Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) Pemkot Surabaya pada waktu-waktu tertentu, banyak didatangi warga yang hendak memperpanjang waktu penggunaan IPT atau balik nama IPT karena jual beli. Para pemegang IPT juga diwajibkan untuk membayar retribusi.

Penyerahan Penggunaan Tanah kepada pihak ketiga dilaksanakan dengan IPT, karena Pemkot Surabaya merupakan badan publik yang terdiri dari kumpulan pejabat publik (tata usaha negara) yang tunduk pada hukum publik, diantaranya adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Produk hukum dari pejabat publik berupa keputusan-keputusan, diantaranya keputusan untuk memberikan izin penggunaan bagian tanah HPL.

Oleh karena itu, di dalam kasus kebun bibit terdapat sedikit kejanggalan, pasalnya di dalam pemberian penggunaan HPL kepada PT SIP pada tanggal 17 Februari 1998 dan PT Floraya pada tanggal 4 Oktober 2001 dilakukan dengan perjanjian (Metropolis, 22 Juni 2010). Seharusnya, produk hukum yang dikeluarkan pemkot Surabaya adalah surat izin dalam hal ini adalah IPT.

Hal ini berbeda dengan pemberian penggunaan bagian tanah HPL oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemberian penggunaan bagian tanah HPL oleh BUMN dilaksanakan dengan perjanjian, karena BUMN adalah badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang tunduk pada hukum privat, yakni Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang mana di dalam melakukan tindakan pengurusan PT didasarkan dengan alas hukum berupa perjanjian. Pendapatan yang diterima BUMN atas pemberian penggunaan bagian tanah HPL berupa uang pemasukan bukan retribusi.

Dengan demikian seharusnya perjanjian penggunaan HPL antara Pemkot Surabaya kepada PT SIP pada tanggal 17 Februari 1998 dan PT Floraya pada tanggal 4 Oktober 2001 adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, yakni terkait dengan kecakapan dan causal yang diperbolehkan (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Kecakapan ini adalah kepantasan subyek hukum di dalam melakukan perbuatan hukum yang dilihat dari umur, yakni harus dewasa (berusia 21 tahun). Akan tetapi, jika dilakukan interprestasi secara gramatikal, makna cakap bisa diartikan kapasitas para pihak di dalam melakukan perjanjian. Seorang pejabat publik di dalam konteks pemberian penggunaan bagian tanah HPL tidak memiliki kapasitas melakukan perjanjian, melainkan membuat/mengeluarkan Izin Pemakaian Tanah.

Kemudian terkait causal yang diperbolehkan, Pemkot Surabaya, PT SIP dan PT Floraya telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4 Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 01 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Penyelesaian Izin Pemakaian Tanah, yang intinya produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemkot Surabaya seharusnya adalah izin pemakaian tanah bukan perjanjian.

Jumat, 25 Juni 2010

Antara Kerugian Negara dan Resiko Bisnis

Para pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belakangan ini ketar-ketir karena satu-persatu menjadi bulan-bulanan pemeriksaan dari kepolisian, kejaksaaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, tidak luput diantaranya ada yang dihadapkan ke meja hijau dan masuk ke wisma prodeo. Pasalnya, mereka terbukti merugikan keuangan negara ratusan juta bahkan miliaran rupiah.

Mengapa Pimpinan BUMN dan BUMD? Karena para pimpinan BUMN dan BUMD adalah subyek hukum yang melakukan pengurusan terhadap suatu badan hukum (BUMN dan BUMD) dengan menggunakan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, modal yang berasal dari kekayaan negara yang ditetapkan dalam APBN dan APBD adalah bagian dari keuangan negara.

Oleh karena itu, kesalahan dalam pengelolaan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan merupakan kerugian negara dan pelanggaran terhadap UU No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal ini sempat menjadi polemik karena ada yang beranggapan bahwa kesalahan di dalam pengelolaan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan ditempatkan di dalam BUMN dan BUMD adalah resiko bisnis.

Pakar hukum ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Erman Rajaguguk disela-sela mengisi seminar di Hotel Acacia Jakarta bulan Desember 2009 lalu, berpendapat bahwa kekayaan negara yang sudah dipisahkan telah menjadi modal badan hukum, sehingga apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut merupakan resiko bisnis bukan kerugian negara.

Prof. Erman Rajaguguk juga berpendapat bahwa kekayaan badan hukum (legal etinty) terpisah dengan kekayaan pemilik (legal personalità), sehingga pertanggungjawabannya hanya sebatas modal.

Model Badan Usaha

Sebelum berpolemik lebih jauh, penulis akan membahas mengenai model-model badan usaha di Indonesia yang menjadi dasar pendirian dari BUMN dan BUMD.

Model badan usaha di Indonesia terdapat bermacam-macam mulai dari usaha perseorangan atau yang lebih dikenal dengan Usaha Dagang (UD), CV/Perseroan Komanditer (Commanditaire vennootschap) dan PT (Perseroan Terbatas).

Ketiga badan usaha di atas memiliki perbedaan yang cukup menonjol, diantaranya adalah di dalam hal pertanggungjawaban para sekutunya. Pertanggungjawaban bisnis di dalam UD adalah tanggung jawab renteng dari para sekutunya. Pertanggungjawaban tersebut tidak sebatas modal saja melainkan sampai ke harta pribadi para sekutu. Misalnya, si A mendirikan UD dengan modal Rp 10 juta. Di dalam perjalanan bisnisnya, Si A mengalami gagal bayar hutang sebesar Rp 25 juta, maka disamping modal Rp 10 juta, si A harus membayar sisa hutang dengan harta pribadinya sebesar Rp 15 juta.

Sedangkan, pertanggungjawaban di dalam CV sedikit berbeda dengan UD, karena di dalam CV dikenal adanya sekutu pasif dan aktif. Sekutu aktif adalah sekutu yang melakukan pengurusan terhadap CV, sedangkan sekutu pasif adalah sekutu yang hanya menyediakan modal CV. Pertanggungjawaban sekutu aktif sampai harta pribadi sedangkan sekutu pasif hanya sebatas modal yang dikeluarkan. Misalnya, si A dan B mendirikan CV. Si A sebagai sekutu aktif, sedangkan si B menyediakan modal Rp 50 juta. Di dalam perjalanan bisnisnya, CV tersebut rugi dan harus ditutup serta menyelesaikan hutang terhadap pihak ketiga sebesar Rp 200 juta, maka si B cukup mengganti sebatas modal yang dikeluarkan, yakni Rp 50 juta, sedangkan sisanya adalah tanggung jawab A untuk mengganti sampai ke harta pribadinya.

Kemudian, pertanggungjawaban dari Perseroan Terbatas (PT). Perseroan Terbatas (PT) menurut saya adalah bentuk ideal dari badan usaha, karena di dalam Perseroan Terbatas (PT), para perseronya hanya bertanggungjawab sebatas modal (saham) yang dikeluarkan pada PT dan tidak sampai ke harta pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham. Misalnya, si A, B dan C sepakat untuk mendirikan Perseroan Terbatas. Masing-masing memberikan modal Rp 50 juta, sehingga modal awal Perseroan Terbatas (PT) adalah Rp 150 juta. Di dalam perjalanannya, Perseroan Terbatas (PT) tersebut mengalami kebangkrutan, karena kesalahan di dalam memilih mitra bisnis. Akibatnya, PT tersebut mengalami kerugian sebesar Rp 500 juta, maka pertanggungjawaban Si A, B dan C hanya sebatas modal yang dikeluarkan, yakni Rp 150 juta dan sisanya berasal dari perhitungan aset. Kecuali, salah satu anggota direksi mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan dewan direksi, maka tanggung jawabnya adalah bisa sampai ke harta pribadi. Hal ini yang dinamakan dengan piercing the corporate veil.

Disamping itu, PT merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum melalui pengurusnya, yakni organ perseroan yang meliputi RUPS, Direksi dan Komisaris.

Perlu diketahui pengertian Perseroan Terbatas berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kata ‘’Terbatas’’ pada Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa pertanggungjawaban para perseroanya hanya sebatas modal yang dikeluarkan untuk Perseroan Terbatas (PT).

Dari pengertian di atas dapat ditemukan beberapa unsur penting dari PT, yaitu :

1. Badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Persekutuan modal disini adalah kumpulan modal dari para pendiri atau pemegang saham;

2. Didirikan dengan perjanjian dalam hal ini adalah akta pendirian;
3. Melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Artinya, kegiatan usaha dari PT dilakukan dengan menggunakan modal dasar yang seluruhnya terbagi atas saham.

BUMN Berbentuk PT

Kebanyakan BUMN dan BUMD di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pemegang saham dari BUMN berbentuk PT adalah Menteri Keuangan dan Menteri BUMN sedangkan BUMD adalah kepala daerah.

Kendati demikian tindakan pengurusan BUMN tidak dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri BUMN akan tetapi pada orang-orang yang ditunjuk, yakni orang-orang yang memiliki kompetensi memimpin perusahaan. Baik dari kalangan profesional maupun pejabat karier. Diharapkan dari kompetensi mereka, para pemimpin perusahaan tersebut dapat mengelola potensi BUMN yang berupa modal maupun aset menjadi pendapatan yang berlipat-lipat. Misalnya, PT Garuda Indonesia yang mampu bangkit dari keterpurukan setelah dipimpin oleh Emirsyah Satar.

Perlu diketahui sesuai Pasal 41 ayat 1, 2, 3 dan 4 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah dapat melakukan Investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, dan sosial. Investasi tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan bentuk saham, surat utang dan investasi langsung, serta penyertaan modal kepada perusahaan negara/daerah/swasta yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Di dalam melakukan tugas pengurusan, para pemimpin perusahaan (board of director) diberikan kewenangan yang dituangkan di dalam anggaran dasar perusahaan. Diantaranya, kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka meningkatkan pendapatan perusahaan. Nah, kewenangan inilah yang menjadi penyebab terjadinya kerugian negara apabila tidak disikapi dengan penuh kehati-hatian. Contoh kasus PT Iglas yang menyebabkan Mantan Direktur Utamanya, Daniel S. Kuswandi ditahan oleh penyidik Kejati Jatim, karena kasus kontrak kerjasama dengan PT Indopacking Gelora Sejahtera (Indoglas) yang mengakibatkan negara merugi lebih dari Rp 22 miliar (Antara News, 25 November 2009).

Apabila diperhatikan dari kasus PT Iglas di atas terjadinya kerugian negara dikarenakan adanya ketidakhati-hatian dan kelalaian dari direksi di dalam mengambil kebijakan kerjasama. Diantaranya, Pertama adalah PT Iglas lalai di dalam membuat kontrak kerjasama dengan PT Indoglas, karena tidak memasukan klausul sanksi dalam kontrak kerjasama sehingga PT Indoglas dapat menentukan sendiri harga jual tutup botol kepada pelanggan. Kedua adalah PT Iglas tidak hati-hati di dalam memproduksi pesanan botol dari pelanggan (PT Karunia Alam Sejahtera), sehingga menyebabkan botol pecah dan cacat. Ketiga PT Iglas tidak hati-hati di dalam berbisnis sehingga menimbulkan piutang yang tidak tertagih. Keempat adalah PT Iglas tidak hati-hati di dalam membeli mesin injeksi sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

Seharusnya hal di atas tidak perlu terjadi apabila kebijakan di dalam suatu perseroan terbatas telah melalui mekanisme yang dituangkan di dalam anggaran dasar maupun ketentuan peraturan yang berlaku.

Apabila suatu perusahaan telah menjalankan suatu kebijakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan tetapi di dalam perjalanannya mitra kerja wanprestasi (cidera janji) sehingga kebijakan tidak dapat dijalankan dengan maksimal dan menimbulkan kerugian, maka hal tersebut bukanlah tindak pidana khusus (korupsi), melainkan kasus perdata. Memang perbedaannya sangat tipis antara resiko bisnis dan kerugian negara akan tetapi masih bisa ditelaah. Apabila kasus perdata seperti wanprestasi, maka sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilakukan gugatan perdata terhadap mitra kerja atau gugat pailit supaya perusahaan dapat memperoleh ganti rugi. Sedangkan, pidana khusus lebih pada kelalaian dan ketidakhati-hatian suatu pribadi maupun kelompok baik disengaja maupun tidak disengaja yang menyebabkan kerugian yang cukup besar pada modal perusahaan. Misalnya, kesalahan memilih prosedur pengadaan sehingga menyebabkan proses lelang tidak transparan yang menyebabkan peserta lelang hanya berasal dari kalangan tertentu.

Inilah yang membedakan karakteristik antara BUMN dengan perusahaan swasta. Apabila di perusahaan swasta, dewan direksi yang tidak hati-hati di dalam mengambil kebijakan dapat menimbulkan kerugian perusahaan hanya memiliki konsekuensi kerugian bisnis. Sebaliknya di dalam BUMN akan memiliki konsekuensi kerugian negara. Oleh karena itu, jajaran pimpinan BUMN dan BUMD harus extra hati-hati didalam mengambil kebijakan perusahaan, terutama yang menyangkut dengan keuangan. Artinya, di dalam mengambil kebijakan tidak hanya memperhatikan dampak jangka pendek dan jangka panjang akan tetapi dari segala aspek (terutama hukum).

Seringkali yang terjadi adalah pihak manajemen meremehkan hal tersebut, karena tidak merasa mengeluarkan uang untuk modal. Berbeda dengan swasta yang lebih berhati-hati karena merasa ikut terlibat dalam mencari modal perusahaan.

Antisipasi BUMN

Direksi BUMN sudah seharusnya lebih berhati-hati di dalam mengambil kebijakan bisnis baik dalam hal kerjasama maupun investasi. Misalnya, sebelum melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dilakukan penjajakan terlebih dahulu dengan mitra kerja untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Penjajakan dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan konsultan independen yang dapat menilai kapabilitas dari calon mitra kerja.

Disamping itu peran dari internal perusahaan sangat penting, yakni dari direktorat terkait misalnya direktorat hukum melakukan kajian dari aspek hukum mitra kerja maupun legal drafting terhadap perjanjian yang akan dibuat maupun tim auditor internal perusahaan serta komisaris. Komisaris sebagai pengawas direksi haruslah lebih proaktif untuk mengawasi setiap proyek kerjasama terhadap pihak ketiga, terutama dari aspek hukum dan keuangan.

Demikian halnya dalam hal investasi, tidak ada larangan bagi BUMN dan BUMD untuk melakukan investasi dalam bentuk saham, surat berharga, reksa dana maupun lainnya, akan tetapi investasi tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan analisa mendalam, sehingga tidak merugikan kekayaan negara dikemudian hari, seperti yang terjadi Mantan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi harus rela dibui karena tidak hati-hati di dalam melakukan investasi dalam bentuk Medium Term Note (MTN) sehingga negara dirugikan miliaran rupiah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kendati modal BUMN dan BUMD berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan pertanggungjawabannya laiknya Perseroan Terbatas. Akan tetapi tidak serta merta setiap kerugian di dalam BUMN dan BUMN adalah resiko bisnis, melainkan apabila kerugian tersebut dapat diindetifikasi sebagai kelalaian dan ketidakhati-hatian dari organ badan hukum, maka hal tersebut adalah kerugian negara. Jadi berhati-hatilah!

Senin, 10 Mei 2010

Konversi Saham, Solusi Permasalahan Hutang-Piutang antar Korporasi


Seorang pimpinan dari perusahaan Plat Merah kebingungan untuk melakukan penagihan hutang terhadap para pengguna jasa yang telah menunggak bertahun-tahun. Pasalnya, perusahaan plat merah tersebut telah mengerahkan segala upaya, diantaranya dengan melakukan pembicaraan secara kekeluargaan sampai somasi, agar para pengguna jasa tersebut mau membayar kewajibannya. Namun demikian, upaya tersebut bertepuk sebelah tangan. Para pengguna jasa tetap tidak mau membayar kewajibannya dengan berbagai alasan. Pimpinan perusahaan plat merah tersebut tidak berpikir hendak mengambil upaya hukum dengan mengajukan gugatan perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Pasal 1365 BW ke pengadilan, mengingat biaya, waktu dan tenaga yang cukup besar apabila permasalahan tersebut sampai masuk ke pengadilan.

Berdasarkan cerita diatas sebenarnya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menawarkan alternatif penyelesaian hutang-piutang antar korporasi (perusahaan), yakni dengan konversi saham. Konversi saham dilakukan oleh korporasi (perusahaan) berpiutang terhadap saham perusahaan yang berhutang, sehingga perusahaan yang berpiutang ikut memiliki saham dari perusahaan berhutang.

Pengaturan mengenai konversi saham diatur dengan mekanisme pemindahan hak atas saham yang dituangkan didalam anggaran dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UUPT, ’’Dalam anggaran dasar Perseroan ditentukan cara pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.’’

Konversi saham ini dilaksanakan dengan menggunakan akta pemindahan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat 1 UU PT. Konversi saham tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan akta pemindahan hak, melainkan harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 57 ayat (1), yakni :

a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau
c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Pelaksanaan konversi saham sebaiknya diawali dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Saham yang hendak dikonversi adalah saham dari perusahaan yang memiliki prospek dan potensi baik dikemudian hari;
2. Perusahaan berada di lokasi yang cukup strategis;
3. Perusahaan tidak memiliki permasalahan internal maupun eksternal yang berdampak negatif terhadap pelaksanaan konversi saham.

Kelebihan dari konversi saham adalah:

1. Permasalahan hutang-piutang terselesaikan.
2. Penambahan pendapatan bagi perusahaan.
3. Perusahaan dapat memperluas bidang usaha selama masih diatur dalam anggaran dasar.

Selasa, 16 Februari 2010

Pentingnya Klausul Arbitrase dalam Perjanjian


Perkembangan dunia bisnis yang begitu pesat memberikan dampak yang positif bagi perkembangan suatu daerah, baik dalam hal pembangunan maupun kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, perkembangan tersebut juga mendorong munculnya berbagai macam sengketa terkait permasalahan hukum bisnis. Oleh karena itu, permasalahan tersebut harus dibarengi dengan proses penyelesaian sengketa yang cepat, akurat dan akuntable serta tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Sayangnya, pengadilan sebagai ujung tombak penegakan hukum belum memberikan perubahan yang berarti, masih terjadi proses peradilan masih bertele-tele dan memakan biaya tidak sedikit. Proses mediasi oleh majelis hakim pada saat persidangan juga tidak efektif. Buktinya, pada disertasi salah satu mahasiswa yang dibimbing oleh Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Erman Rajaguguk, SH, LLM, PhD, mengenai efektifitas mediasi dalam persidangan, menyebutkan bahwa dari 500 perkara yang dilaksanakan dengan mediasi, hanya 5 yang berhasil didamaikan. Artinya, hanya 1 % yang berhasil dengan cara mediasi. Oleh karena itu, Erman Rajaguguk menyebutkan bahwa pengadilan memang diperuntukkan untuk para pihak yang tidak ingin didamaikan dan siap berkelahi.
Pada tahun 1999, sebagai anggota Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri, pemerintah Indonesia mengundangkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang intinya memperbolehkan penyelesaian di luar pengadilan, yakni dengan Arbitrase.
Definisi Arbitrase menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 adalah :
’’Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.’’

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan, sengketa yang tidak dapat menggunakan arbitrase adalah yang berkaitan dengan hukum publik, keluarga, pailit dan permasalahan lain yang tidak dapat didamaikan oleh para pihak menurut perundang-undangan (contoh: Kepailitan, Ketenagakerjaan, susunan pengurus dan permodalan perseroan).
Penyelesaian melalui Arbitrase memiliki beberapa kelebihan, diantaranya, Pertama adalah lebih cepat, karena diselesaikan dalam jangka waktu 455 hari, bahkan kurang. Kedua, biaya yang dikeluarkan untuk proses arbitrase dapat dipertanggungjawabkan, karena telah ditentukan dengan daftar tersendiri yang resmi. Ketiga, putusan badan arbitrase bersifat final dan binding. Artinya, putusan arbitrase telah memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak dan memiliki kekuatan eksekutorial setelah didaftarkan pengadilan negeri.
Kendati demikian putusan arbitrase dapat dibatalkan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, yaitu terhadap putusan arbitrase yang mengandung unsur-unsur :
a. Surat dan dokumen yang diajukan pada saat pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui sebagai surat dan dokumen palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan majelis arbitrase yang memutus perkara melebihi yang dimohonkan oleh pemohon? Di dalam Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, para pihak yang dirugikan karena kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan, dapat melakukan koreksi paling lambat 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Kelebihan yang kelima adalah pemeriksaan sengketa dilaksanakan secara tertutup, sehingga privasi para pihak tetap terjaga dari publikasi media atau pihak lain. Keenam, para pihak dapat memilih para arbiternya sendiri-sendiri dengan dasar asas kepercayaan. Tentunya, harus mengacu dengan kualifikasi arbiter yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, yakni cakap melakukan tindakan hukum, berumur paling rendah 35 tahun, tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa, tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan Arbitrase; dan memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun.
Erman Rajaguguk mengatakan bahwa salah satu kelebihan dari arbitrase adalah para pihak dapat memilih arbiternya dengan terlebih dahulu berkomunikasi dengan arbiternya. Artinya, para pihak dapat mengetahui peluang untuk menang di dalam proses arbitrase. Meski demikian, arbiter tetap menjaga netralitas. Bahkan, seorang arbiter memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Misalnya, para pihak tersebut pernah menjadi klien arbiter tersebut atau para pihak tersebut adalah saudara dari arbiter.
Perlu diketahui definisi Arbiter didalam Pasal 1 ayat (7) adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Jumlah arbiter harus ganjil. Karena itu, para arbiter (arbiter 1 dan 2) yang telah dipilih oleh para pihak harus menentukan satu arbiter lagi, yakni arbiter ketiga yang diangkat sebagai ketua majelis arbitrase. Arbiter dapat pula ditunjuk secara tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
Disamping itu, Arbiter dituntut memiliki kedisiplinan waktu sesuai proses beracara di arbitrase. Hal ini dapat diperhatikan dari Pasal 20 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang menyebutkan bahwa : dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut pada para pihak.
b. Pemilihan Forum Arbitrase (choice of forum) dan hukum yang berlaku (choice of law)
Para pihak bebas untuk menentukan sendiri pemilihan forum arbitrase dalam menyelesaikan sengketanya, melalui forum Arbitrase permanen atau Ad Hoc dari dalam/luar negeri baik, dan dengan menggunakan pilihan hukum yang berlaku seperti pilihan hukum Indonesia atau pilihan hukum asing. Sebagai contoh, terhadap suatu sengketa komersial para pihak dapat membawa sengketa tersebut untuk diperiksa, diadili dan diputus melalui forum Arbitrase permanen atau Ad Hoc dari dalam/luar negeri dengan menggunakan aturan hukum Indonesia/asing. Forum Arbitrase Dalam Negeri permanen (lembaga Arbitrase dalam negeri) antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASARNAS). Sedangkan, forum Arbitrase Luar negeri (lembaga Arbitrase luar negeri) sebagai contoh antara lain adalah Singapore International Arbitration Centre (SIAC), International Chambers of Commerce (ICC) dan United Nation Commission for International Trade Law (UNCITRAL). Adapun aturan hukum yang berlaku para pihak dapat menggunakan pilihan hukum dalam negeri (Indonesia, BANI Rule) atau asing (seperti SIAC Rules, ICC Rules atau UNCITRAL Rules).
Putusan forum Arbitrase dalam negeri/luar negeri yang menggunakan peraturan hukum arbitrase Indonesia atau asing, putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial setelah didaftarkan (deponering) di pengadilan. Untuk Putusan forum Arbitrase dalam negeri didaftarkan ke Pengadilan Negeri dimana objek perkara berada. Sedangkan, putusan Arbitrase dari forum luar negeri didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun apabila putusan Arbitrase forum luar negeri tersebut memiliki kompleksitas yang meluas maka PN Jakarta Pusat akan menyerahkannya ke Mahkamah Agung. Sebagai contoh, pelaksanaan Arbitrase di Surabaya dan peraturan arbitrase yang digunakan adalah dari UNICTRAL (Badan Arbitrase dibawah PBB), maka putusan tersebut adalah putusan dalam negeri dan untuk dapat memiliki kekuatan eksekutorial harus didaftarkan (dideponering) di Pengadilan Negeri Surabaya. Sebaliknya, apabila forum tersebut di luar negeri dan dilaksanakan dengan peraturan arbitrase asing, maka untuk dapat memiliki kekuatan eksekutorial harus didaftarkan di pengadilan setempat, yakni tempat forum tersebut diselengarakan. Misalnya, perkara PT. Pertamina v. Karaha Bodas yang menggunakan forum di Geneva, maka putusan tersebut adalah putusan luar negeri yang harus didaftarkan di Pengadilan di Geneva. Kalaupun ada pembatalan putusan Arbitrase tersebut, maka pembatalannya harus diajukan ke pengadilan Geneva bukan Pengadilan Negeri Dalam Negeri. Hal ini sesuai dengan Konvensi New York 1958.
c. Negosiasi Bagian dari Proses Arbitrase
Proses negosiasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Negosiasi adalah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan cara mengatur kepentingan para pihak secara efektif dan efisien. Atau, Negosiasi adalah suatu cara yang sangat efektif untuk mendapatkan apa yang kita kehendaki.
Di dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu diawali dengan proses negosiasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Negosiasi dapat dikatakan sukses apabila kepentingan para pihak terlindungi secara maksimal. Sedangkan, Negosiasi yang gagal adalah apabila kepentingan yang terlindungi tidak berimbang, yakni kepentingan salah satu pihak terlindungi secara berlebihan, sedangkan kepentingan yang lain dirugikan atau kedua pihak dirugikan.
Menurut Herb Cohen dalam Bukunya You Can Negotiate Anything, tipe negosiator terbagi menjadi tiga, yakni :
a. Negosiator Win-Lose;
b. Negosiator Lose-Lose;
c. Negosiator Win-Win.
Negosiator sebagaimana huruf a dan b diatas adalah tipe negosiator yang tidak seimbang, karena salah satu pihak atau kedua belah pihak dirugikan. Sedangkan, negosiator win-win adalah negosiator yang menguntungkan dan melindungi kedua belah pihak. Memang menjadi negosiator yang win-win tidaklah mudah karena membutuhkan kesabaran. Akan tetapi, hal tersebut merupakan seni untuk memenangkan masalah dengan cantik.
Tiga langkah penting didalam melakukan negosiasi adalah :
a. Persiapan yang mantap;
b. Pilih juru picara yang tepat;
c. Siapkan agenda.
Sepuluh langkah sebelum memasuki proses negosiasi :
1. Fahami diri sendiri (Kekurangan dan Kelebihan);
2. Fahami lawan (Kekurangan dan Kelebihan);
3. Fahami situasi dan kondisi yang mempengaruhi negosiasi;
4. Tetapkan target;
5. Tentukan Strategi dan Taktik;
6. Tetapkan apa yang akan dinegosiasikan;
7. Tulis pertanyaan yang perlu jawaban sehubungan dengan negosiasi;
8. Tetapkan posisi permulaan;
9. Pastikan : Seorang atau tim yang melakukan negosiasi;
10. Latihan.
Akan tetapi, dari langkah-langkah diatas adalah negosiator harus bisa menemukan inti dari permasalahan. Misalnya, dapat dianalogikan sebagai berikut:
’’Ada sebuah rumah yang bocor, kemudian, oleh pemiliknya hanya diberi penampung untuk menampung air hujan tersebut. Dengan menempatkan penampung air permasalahan dapat diselesaikan. Akan tetapi, hal tersebut adalah penyelesaian sementara, karena apabila hujan deras yang dapat menyebabkan penampung air penuh sehingga dapat menyebabkan banjir didalam rumah. Berbeda apabila, pemilik rumah bisa mencari sumber kebocoran, misalnya genting miring atau bocor dan segera memperbaiki. Maka, permasalahan tidak akan berulang kembali’’.

Cara lainnya di dalam melakukan negosiasi, yakni dengan metode BATNA (Best Alternative To A Negosiated Agreement) dari Profesor Harvard Roger Fisher dan Wiliam Ury. BATNA sebagai Best Alternative To a Negotiate Agreement (Alternatif terbaik untuk kesepakatan yang di negosiasikan). Penyusunan BATNA Anda (Patokan Akhir) :
• Untuk mengatasi patokan akhir yang tidak realistis dan tidak fleksibel.
• Tuliskan segala sesuatu yang menurut Anda dapat dilakukan jika Anda gagal mencapai persetujuan.
• Ubah alternatif yang paling menjanjikan menjadi pilihan-pilihan yang praktis.
• Pilih satu pilihan yang merupakan pilihan terbaik Anda, dan inilah pilihan terbaik Anda .
• Nilai semua usulan berdasarkan alternatif terbaik ini .
• Jika ada penawaran (offer) yang lebih baik daripada alternatif Anda, pertimbangkanlah untuk menerima penawaran tersebut.
• Jika penawaran lebih buruk dari pada alternatif terbaik Anda, negosiasikan untuk mengadakan perbaikan.
• Jika mereka tidak mau memperbaiki penawaran tersebut, gunakan alternatif terbaik Anda.
Tiga Langkah BATNA
1. INVENTARISASI ALTERNATIF
- Mendaftar semua yang dapat anda lakukan jika anda tidak mencapai kesepakatan
2. BANDINGKAN : KEBAIKAN/KEBURUKAN SETIAP ALTERNATIF
- Menjajaki pilihan yang terbaik dan berusaha meningkatkan pilihan tersebut
3. PILIH YANG TERBAIK
- Akhirnya anda memilih pilihan yang terbaik, inilah BATNA anda.
Isu dan Prioritas
Disamping itu, seorang negosiator harus dapat menentukan isu apa yang akan dibahas dalam proses negosiasi maupun prioritas dari masing-masing.
Prioritas dari masing-masing isu disusun dengan urutan sebagai berikut :
1. (Harus dapat)
2. (Sebaiknya dapat)
3. (Dapat : Bagus, Tidak Dapat : Tidak apa-apa)
Misalnya: didalam proses negosiasi pembayaran hutang piutang. Si berpiutang menginginkan agar Si berhutang membayar seluruh hutangnya. Maka, negosiator dapat menentukan skala prioritas sebagai berikut : Pertama mendapatkan pembayaran hutang (harus dapat). Kedua, mendapatkan pembayaran hutang plus denda (sebaiknya dapat). Ketiga adalah mendapatkan pembayaran hutang, denda dan mengkonversi piutang terhadap saham perusahaan milik pihak berhutang sehingga kita dapat ikut memiliki perusahaan tersebut (Dapat : Bagus, Tidak dapat : Tidak apa-apa).
atau sebaliknya,
1. (Dapat: Bagus, Tidak Dapat : Tidak apa-apa)
2. (Sebaiknya dapat)
3. (Dapat: Bagus, Tidak Dapat : Tidak apa-apa)
Misalnya: di dalam proses negosiasi pembayaran hutang piutang, negosiator menempatkan skala prioritas sebagai berikut : Pertama adalah mendapatkan pembayaran hutang, denda dan mengkonversi terhadap saham perusahaan milik pihak berhutang (Dapat : Bagus, Tidak dapat : Tidak apa-apa). Kedua, mendapatkan pembayaran hutang plus denda (sebaiknya dapat). Ketiga adalah Pertama mendapatkan pembayaran hutang (harus dapat). Di dalam proses negosiasi harus ada take and give agar seimbang. Misalnya, pihak berhutang menginginkan tidak membayar denda, maka pihak berpiutang memperbolehkan asal piutangnya dibayarkan.
d. Klausula Penyelesaian Sengketa
Banyak ahli hukum yang belum paham tentang Undang-Undang Arbitrase, sehingga didalam klausul penyelesaian sengketa seringkali menyebutkan penyelesaian sengketa yang tidak jelas atau membingungkan sebagaimana contoh klausula berikut ini :
Perjanjian Sale And Purchase Agreement tanggal 27 Juni 1996 antara PT. Dharma Niaga Ltd. v. Hati Prima Potasi PTE Ltd. yang menjadi perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 764/Pdt.P/1996/PN.JKT.BAR,
’’Any dispute arising under or relating to this Sale and Purchase Agreement, or the beach there of, which cannot be settled amicably between the parties shall be referred to and settled in Indonesia under the rules of Indonesian law’’.

Klausula diatas menyebutkan bahwa terhadap segala sengketa yang terjadi dikarenakan perjanjian penjualan dan pembelian yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah diantara para pihak, maka diselesaikan di Indonesia menurut hukum Indonesia. Hal ini membingungkan, karena penyelesaian sengketa menurut hukum Indonesia dibagi menjadi dua, yakni melalui pengadilan dan arbitrase. Dengan klausula tersebut, para pihak dapat menjalankan dua proses hukum sekaligus, yakni di pengadilan maupun arbitrase. Padahal, sesuai Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal tersebut juga terkait dengan kompetensi absolut kewenangan untuk mengadili. Misalnya, adalah putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Dato Wong Guong cs v. PT. Metropolitan Timber Ltd., No. 225 K/Sip/1976. Perkara ini timbul, karena sengketa mengenai kerjasama eksploitasi kayu di kepulauan Sanasa Kasiruta dan Mandioli Propinsi Maluku sehubungan dengan HPH yang dikeluarkan tahun 1969. Andries Gerardus Pengemanan sebagai Direktur PT. Gapki Trading Co. Ltd. telah menggugat Dato Wong Guong dan PT. Metropolitan Timber Ltd. di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehubungan kekurangan pembayaran dari hasil eksport kayu dalam rangka kerjasama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No. 310/1972 G tanggal 21 Maret 1973 mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Akan tetapi ditingkat banding, pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri meskipun menyatakan pengadilan negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI berpendirian pada Pasal 11 perjanjian yang menyebutkan bahwa :
’’If there any dispute arising that cannot be settled by both parties amicably then the matter concerned is subject just to an arbitration consisting of three arbitrator, one arbitrator shall be elected by each party and the third arbitrator to be elected jointly by the two arbitrator to act as refree’’.

Ketentuan Pasal 11 diatas menyangkut kekuasaan absolut untuk menyelesaikan perselisihan sengketa, yakni melalui musyawarah. Apabila tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah maka Badan Arbitraselah yang terdiri tiga orang yang telah disetujui oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Klausula penyelesaian sengketa yang membingungkan lainnya adalah Klausula dalam Perjanjian Emisi Efek berikut :
’’Perjanjian Emisi Efek harus diusahakan untuk diselesaikan secara musyawarah dan bilamana tidak tercapai persesuaian paham, maka perselesihan tersebut diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau Peradilan yang berwenang.’’

Kemudian, dalam klausula perjanjian penyelesaian sengketa melalui adhoc sedikit berbeda dengan klausul panitia adhoc, klausul panitia adhoc harus disebutkan teknis pemilihan arbiter sebagaimana klausul berikut :
’’Each Party shall appoint (one) within 7 (seven) days after a request therefor has been issued by either one of the parties to the other and 2 (two) arbitrators so appointed shall jointly appoint the third arbitrator. Should, however, the 2 (two arbitrators fail to appoint the third arbitrator within 14 (fourteen) days of the day the second arbitrator has been appointed, the chairman of The Central Jakarta Distric Court Shall be entitled to appoint the third arbitrator upon request of either party.’’

Demikian juga dengan biaya harus disebutkan dengan jelas.
e. Langkah Strategis Pengamanan Posisi Hukum Perusahaan Terkait Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase:
1. Mencantumkan klausul detail penyelesaian sengketa melalui Arbitrase terhadap Perjanjian yang bersifat strategis dan bernilai ekonomis tinggi bagi perusahaan, sebagai berikut:
PASAL 13
Penyelesaian Perselisihan
(1) Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan Perjanjian ini maka PARA PIHAK akan menyelesaikan musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam musyawarah tersebut tidak decapai kesepakatan, maka perselisihan akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat Kedua Belah Pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.
(2) Biaya-biaya yang timbul berkenaan dengan penunjukan BANI akan ditanggung oleh PARA PIHAK.
2. Tips yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan atau tim yang mewakili Perusahaan untuk melakukan Negosiasi dalam forum musyawarah penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:
a. Pahami dan pelajari lebih dahulu kelebihan dan kekurangan Perusahaan terkait pelaksanaan Perjanjian;
b. Pahami dan pelajari kelebihan dan kekurangan lawan terkait pelaksanaan Perjanjian;
c. Pahami dan kuasai situasi dan kondisi yang mempengaruhi Negosiasi;
d. Tentukan dan tetapkan isu yang akan dinegosiasikan;
e. Tentukan dan tetapkan target yang akan decapai, meliputi skenario (target) pertama, kedua dan alternatif;
f. Tentukan dan tetapkan strategi serta teknik, seperti -> jangan mengutarakan ancaman-ancaman penyelesaian melalui polisi/pengadilan dan jangan banyak membicarakan terkait kewajiban-kewajiban lawan.
g. Tulis daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada pihak lawan sehubungan dengan Negosiasi;
h. Tentukan posisi permulaan -> seperti, ajukan/bicarakan terlabih dahulu beberapa tawaran kewajiban-kewajiban kita (Perusahaan), untuk kemudian meminta beberapa kewajiban yang kita inginkan dari pihak lawan;
i. Pastikan cukup seorang saja juru bicara dari tim negosiasi yang mewakili perusahaan.
3. Kemudian, dalam hal musyawarah untuk mencapai mufakat gagal disepakati, langkah selanjutnya sebelum membawa sengketa ke BANI, Perusahaan perlu melakukan pendekatan secara personal/non teknis untuk meminta pendapat hukum/second opinion calon Arbiter dari BANI. Apabila terhadap second opinion calon Arbiter tersebut membawa arah angin penyelesaian lebih menguntungkan posisi perusahaan, maka sangat tepat bagi perusahaan untuk menunjuk Arbiter dimaksud sebagai Arbiter yang ditunjuk oleh perusahaan. Namun sebaliknya, apabila setelah dilakukan pendekatan calon Arbiter dimaksud berpendapat sejak awal bahwa posisi hukum perusahaan lemah, maka sudah sepatutnya perusahaan untuk tidak menunjuk Arbiter dimaksud dan mencari lagi calon Arbiter yang lebih tepat bagi Perusahaan.
4. Sebagai strategi dalam proses beracara di BANI, ditekankan pula terhadap Arbiter yang telah kita tunjuk untuk tetap konsisten terhadap arah penyelesaian hukum yang lebih menguntungkan Perusahaan. Bahwa perusahaan penting untuk menentukan dan menunjuk Arbiter, karena berdasarkan BANI Rules apabila perusahaan dalam jangka waktu 14 hari tidak juga menentukan untuk menunjuk Arbiter, maka sengketa akan diadili dan diputus oleh Arbiter (tunggal) yang telah ditunjuk oleh pihak lawan. Hal yang sangat menguntungkan perusahaan apabila pihak lawan tidak juga menentukan untuk menunjuk Arbiter dalam jangka waktu 14 hari, maka sengketa akan diputus oleh Arbiter yang ditunjuk oleh Perusahaan. Namun, apabila para pihak (perusahaan dan lawan) masing-masing telah menunjuk Arbiter, maka masing-masing Arbiter akan menunjuk/mengangkat Arbiter lagi dari BANI sebagai ketua majelis Arbiter. Untuk kemudian majelis Arbiter (terdiri dari beberapa Arbiter yang berjumlah ganjil, 3 atau 5 Arbiter dan diketuai oleh seorang ketua majelis)yang akan memutus penyelesaian sengketa.
5. Kemudian, terhadap putusan BANI yang telah berkekuatan hukum tetap:
a. Dalam hal putusan BANI memenangkan dan menguntungkan Perusahaan:
1) Segera mengawal, mengawasi dan memantau agar BANI mendaftarkan (deponering) putusan dimaksud ke Pengadilan Negeri tempat dimana objek sengketa berada;
2) Segera mengajukan permohonan / meminta fiat pelaksanaan eksekusi kepada ketua Pengadilan Negeri dimaksud;
3) Membantah segala upaya hukum pembatalan/keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak lawan terkait putusan BANI/pelaksanaan eksekusinya dengan argumen, putusan BANI dimaksud adalah putusan final, mengikat dan Pengadilan Negeri tidak berkompetensi absolut untuk mengadili putusan BANI.
b. Dalam hal putusan BANI mengalahkan dan merugikan Perusahaan:
1) Segera mengajukan upaya hukum “pembetulan kesalahan-kesalahan” ke BANI dalam jangka waktu tidak lebih dari 14 hari sejak putusan diterima. Dengan argumen, majelis Arbitrase dalam memutuskan sengketa telah menambah atau mengurangi suatu tuntutan yang tidak disinggung/diminta oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase;
2) Pada dasarnya belum pernah ada putusan lembaga yudisiil (badan peradilan dilingkungan Mahkamah Agung) Indonesia yang membatalkan putusan BANI, karena sifat putusan BANI yang final, mengikat dan tidak memungkinkan dilakukan upaya hukum. Namun oleh karena UU. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) sebagai alat yang dapat digunakan Perusahaan dalam menunda pelaksaan eksekusi yang diajukan oleh pihak lawan, maka sangat dimungkinkan bagi Perusahaan untuk dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dengan gugatan pembatalan putusan BANI antara Perusahaan melawan BANI (termohon) dan pihak lawan (sebagai turut termohon).

Badan Hukum Pendidikan, Peluang Baru Bagi Notaris


Pemerintah telah mengundangkan peraturan mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP), yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009. Undang-undang ini sempat menjadi polemik, karena identik dengan privatisasi dan komersialisasi pendidikan, karena pemerintah tidak lagi turut campur dalam pengelolaan pendidikan (khususnya, sekolah dan/atau perguruan tinggi negeri), sehingga sekolah dan/atau perguruan tinggi negeri tersebut harus mencari uang sendiri dengan cara membebankan biaya operasional pendidikan kepada mahasiswanya guna memenuhi kebutuhan operasional sekolah dan/atau perguruan tinggi. Pengelolaan yang dahulu berbentuk Yayasan pun harus diubah menjadi Badan Hukum Pendidikan. Akan tetapi, hal tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena Badan Hukum pendidikan (BHP) sesuai Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2009 adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal yang pengelolaan dananya dilakukan secara mandiri dengan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Hal ini juga dapat diperhatikan dari prinsip-prinsip dasar Pengelolaan pendidikan formal yang dituangkan Pasal 4 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2009 secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:
a. otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik;
b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. tranparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;
d. pejaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.
e. Layanan prima yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;
f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;
g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis dan budaya;
h. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan
i. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.

Satuan Pendidikan di Bawah BHP
Dengan diundangkan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, maka setiap satuan pendidikan yang didirikan harus membentuk Badan Hukum Pendidikan. Definisi Satuan Pendidikan sesuai Pasal 1 ayat (8) jo Pasal 1 ayat (9) UU No. 9 Tahun 2009, adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelengarakan pendidikan formal (pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi). Pendiri Badan Hukum Pendidikan (BHP) dapat dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang mendirikan badan hukum pendidikan. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat memiliki sebutan sebagai berikut :
1. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah adalah Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), yang didirikan dengan peraturan pemerintah atau usul menteri;
2. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah adalah Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD), yang didirikan dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota.
3. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh masyarakat adalan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) yang didirikan dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri.
Persyaratan Pendirian Badan Hukum Pendidikan sebagaimana diatur pada Pasal 11 UU No. 9 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a. Badan Hukum Pendidikan harus mempunyai pendiri, tujuan di bidang pendidikan formal, struktur organisasi, dan kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri.
b. Jumlah kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus memadai untuk biaya investasi dan mencukupi untuk biaya operasional badan hukum pendidikan dan ditetapkan dalam anggaran dasar.
c. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah BHP Satuan Pendidikan berdiri, pendiri harus membentuk organ-organ lainnya sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 2009.

Penyesuaian Tata Kelola Yayasan

Tata kelola badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah memiliki paling sedikit 2 (dua) fungsi pokok, yaitu
a. fungsi penentuan kebijakan umum; dan
b. fungsi pengelolaan pendidikan.
Organ badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah terdiri dari atas :
a. Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK); dan
b. Organ Pengelola Pendidikan (OPP).
Kemudian, Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi memiliki paling sedikit 4 (empat) fungsi pokok, yaitu :
a. fungsi penentuan kebijakan umum;
b. fungsi pengawasan akademik;
c. fungsi audit bidang non-akademik; dan
d. fungsi kebijakan dan pengelolaan pendidikan.
Organ badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas :
a. Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK);
b. Organ Representasi Pendidik (ORP);
c. Organ Audit Bidang Non Akademik (OANA); dan
d. Organ Pengelola Pendidikan (OPP).
Organ representasi pemangku kepentingan badan hukum pendidikan menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum.
1. Organ representasi pendidik menjalankan fungsi pengawasan kebijakan akademik.
2. Organ audit bidang non-akademik menjalankan fungsi audit non-akademik
3. Organ pengelola pendidikan menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan.

Satuan Pendidikan yang didirikan dengan Yayasan
Setiap pendiri satuan pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) setelah diberlakukannya UU No. 9 Tahun 2009 wajib berbentuk badan hukum pendidikan. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 UU No. 9 Tahun 2009. Bagaimana dengan satuan pendidikan yang telah diselengarakan oleh Yayasan? Apakah harus berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan? Untuk Yayasan tidak perlu melakukan perubahan menjadi Badan Hukum Pendidikan atau dibubarkan, akan tetapi cukup melakukan penyesuaian anggaran dasar terkait organ-organ dan tata kelola yang ada di Yayasan dengan BHP, karena pada dasarnya organ-organ yang ada pada Yayasan sama dengan BHP hanya berbeda istilahnya saja, untuk Pembina dan Pengurus Yayasan sama dengan ORPK, untuk Pengawas sama dengan OANA, dan Rektor/Ketua/Direktur sama dengan OPP, serta senat akademik sama dengan ORP. Hanya saja terdapat penyesuaian terhadap tugas dan wewenangnya. Salah satu contohnya, tugas wewenang Pembina dalam Pasal 28 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah sebagai berikut :
a. Membuat keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas;
c. Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d. Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Kemudian, tugas dan wewenang ORPK sesuai Pasal 22 UU No.9 Tahun 2009 tentang BHP adalah sebagai berikut :
a. Menyusun dan menetapkan perubahan anggaran dasar dan menetapkan anggaran rumah tangga beserta perubahannya;
b. Menyusun dan menetapkan kebijakan umum;
c. Menetapkan rencana pengembangan jangka panjang, rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan anggaran tahunan;
d. Mengesahkan pimpinan dan keanggotaan organ representasi pendidik;
e. Mengangkat dan memberhentikan pemimpin organ pengelola pendidikan;
f. Melakukan pengawasan umum atas pengelolaan badan hukum pendidikan;
g. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja badan hukum pendidikan;
h. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja badan hukum pendidikan;
i. Melakukan penilaian laporan pertanggungjawaban tahunan pemimpin organ pengelola pendidikan, organ audit bidang non-akademik, dan organ representasi pendidik;
j. Mengusahakan pemenuhan kebutuhan pembiayaan badan hukum pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. Menyelesaikan persoalan badan hukum pendidikan, termasuk masalah keuangan, yang tidak dapat diselesaikan oleh organ badan hukum pendidikan lain sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Maka, tugas dan wewenang Pembina di Yayasan sebagaimana disebutkan diatas disesuaikan dengan ORPK yang ada di BHP. Penyesuaian tersebut diberitahukan kepada Menteri Hukum dan Ham sebagaimana Pasal 21 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, ’’Perubahan anggaran dasar mengenai hal lain cukup diberitahukan kepada Menteri’’. Penyesuaian tersebut tidak hanya tugas dan wewenang saja, akan tetapi unsur-unsur yang duduk di dalam organ. Unsur-unsur yang duduk didalam organ pembina menurut Pasal 28 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Disamping itu, Pengurus dan Pengawas tidak dapat merangkap sebagai pembina atau pengawas sebagaimana Pasal 31 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2001. Hal ini berbeda dengan ORPK dimana OPP dapat diduduk dalam ORPK. Unsur-unsur yang duduk di ORPK di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah meliputi paling sedikit terdiri atas :
a. pendiri atau wakil pendiri;
b. pemimpin organ pengelola pendidikan (kepala sekolah, direktur, ketua);
c. wakil pendidik;
d. wakil tenaga kependidikan; dan
e. wakil komite sekolah/madrasah.
Begitu juga Unsur-unsur ORPK di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, paling sedikit terdiri atas :
a. pendiri atau wakil pendiri;
b. wakil organ representasi pendidik;
c. pemimpin organ pengelola pendidikan (rektor);
d. wakil tenaga kependidikan; dan
e. wakil unsur masyarakat,
Hanya saja kedudukan pemimpin OPP di dalam ORPK tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Melainkan, untuk transparansi dari pelaksanaan pengambilan keputusan ORPK. Yayasan yang telah melakukan penyesuaian disebut sebagai Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara (BHP Penyelenggara). Perlu diketahui di dalam Yayasan sebagaimana Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, terdapat organ Pembina, Pengurus dan Pengawas. Jadi satuan-satuan pendidikan yang telah berada dibawah Yayasan tidak perlu dibubarkan atau dirubah menjadi BHPM, karena Yayasan telah ada terlebih dahulu, sehingga tinggal dilakukan penyesuaian. Akan tetapi, apabila Yayasan tersebut hendak menambah satuan pendidikan, maka satuan pendidikan tersebut harus membentuk Badan Hukum Pendidikan Masyarakat terlebih dahulu (khusus yayasan yang didirikan masyarakat). Misalnya, Yayasan ABC sebelum UU No. 9 Tahun 2009 diundangkan telah memiliki lima satuan pendidikan, yakni dua sekolah dasar, dua sekolah menengah dan satu perguruan tinggi. Setelah diundangkan UU No. 9 Tahun 2009, Yayasan ABC tidak perlu berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan, melainkan cukup melakukan penyesuaian dengan tugas dan wewenang di dalam BHP. Begitu juga dengan kelima satuan pendidikannya tidak perlu masing-masing membentuk BHPM. Pembentukan BHPM baru dilakukan, apabila Yayasan tersebut memiliki satuan pendidikan baru. Contoh lainnya adalah Yayasan Muhamadiyah yang telah memiliki 158 perguruan tinggi dan 8000 sekolah menengah dasar, tidak perlu masing-masing satuan pendidikannya dibentuk BHPM, tapi cukup dilakukan penyesuaian menjadi Badan Hukum Pendidikan Penyelengara, kecuali akan membentuk satuan pendidikan baru (setelah diundangkannya UU No. 9 Tahun 2009), maka harus membentuk BHPM baru. Bagaimana dengan Yayasan yang terlanjur dibubarkan? Satuan pendidikan yang berada di Yayasan yang terlanjur dibubarkan, harus segera mendapatkan dasar penyelengaraan dengan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat, mengingat status ijasah para siswa didik yang dianggap tidak sah apabila pendirian satuan pendidikan tidak memiliki BHPM.

Kekayaan Badan Hukum Pendidikan
Kekayaan Badan Hukum Pendidikan pada prinsipnya adalah kekayaan pendiri yang dipisahkan laiknya modal dalam Perseroan Terbatas yang dipisahkan antara modal badan hukum dan kekayaan para pemegang sahamnya, karena pertanggungjawabannya sebatas modal yang disetor ke Perseroan sebagaimana UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hanya saja ada kekayaan pendiri yang dipergunakan BHP masih dapat dimiliki oleh pendiri, seperti halnya lahan dan/atau bangunan, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU No. 9 Tahun 2009, ’’…Lahan dan/atau bangunan dapat tidak dimasukkan sebagai kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan badan hukum pendidikan.’’

Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah
Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 71 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan Hukum Pendidikan. Mekanisme pendirian yang diatur dalam Permen Pendidikan No. 71 Tahun 2009 adalah Pendirian BHPP, BHPPD dan BHPM. Salah satu contohnya adalah mekanisme pendirian BHPM diatur dalam Pasal 5 adalah sebagai berikut :
a. Orang atau masyarakat sebagai pendiri menyusun studi kelayakan pendirian BHPM dan rancangan akta pendirian/anggaran dasar BHPM yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan Notaris;
b. Studi kelayakan dan rancangan akta pendirian/anggaran dasar BHPM tersebut disampaikan oleh pendiri kepada Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi untuk memperoleh persetujuan;
c. Apabila studi kelayakan dan rancangan akta pendirian/anggaran dasar BHPM disetujui, pendiri pembuat akta pendirian BHPM dihadapan notaris dengan menyerahkan studi kelayakan yang telah disetujui Menteri;
d. Akta Notaris tersebut disampaikan oleh notaris kepada Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi untuk memperoleh pengesahan;
e. Status sebagai BHPM berlaku mulai tanggal akta notaris tentang pendirian BHPM disahkan oleh Menteri;
f. BHPM berwenang menyelenggarakan kegiatan pendidikan setelah mendapat ijin operasional penyelenggaraan pendidikan dari gubernur atau bupati/walikota berdasarkan pemenuhan persyaratan penyelenggaraan pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pengaturan mengenai isi dari studi kelayakan diatur dalam Pasal 6 Permen Pendidikan Nasional No. 71 Tahun 2009. Kemudian, untuk penyesuaian Yayasan yang telah ada sebelum UU No. 9 Tahun 2009 ada terhadap BHP dilakukan dengan pengakuan. Mekanisme pengakuan diatur dalam Pasal 11 Permen Pendidikan Nasional No. 71 Tahun 2009 sebagaimana berkut :
a. Penyelenggara menyusun rancangan perubahan akta pendirian/anggaran dasar, khusus bagian tata kelola penyelenggara untuk disesuaikan dengan tata kelola penyelenggara untuk disesuaikan dengan tata kelola badan hukum pendidikan, yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya;
b. Rancangan perubahan akta pendirian/anggaran dasar tersebut disampaikan oleh penyelenggara untuk mendapatkan persetujuan Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi;
c. Apabila rancangan perubahan akta pendirian/anggaran dasar disetujui, penyelenggara mengubah akta pendirian dihadapan notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya;
d. Perubahan Akta pendirian/anggaran dasar yayasan tersebut diberitahukan oleh notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Perubahan akta pendirian/anggaran dasar badan hukum lain selain yayasan diberitahukan oleh notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya kepada menteri yang berwenang ats badan hukum tersebut;
e. Foto copi sesuai asli surat tanda terima pemberitahuan tentang perubahan akta pendirian/anggaran dasar yayasan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan foto kopi sesuai asli surat tanda penerimaan pemberitahuan tentang perubahan akta pendirian/anggaran dasar badan hukum lain selain yayasan atau perkumpulan dari menteri yang berwenang atas badan hukum lain selain yayasan tersebut disampaikan oleh notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya kepada Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi.
Sedangkan, untuk mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan untuk Perguruan Tinggi, diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara atau Perguruan Tinggi, dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan.

Peluang Bagi Notaris
Keberadaan UU BHP ini sebenarnya peluang bagi Notaris didalam pembuatan Akta BHP, karena tidak menutup kemungkinan permintaan masyarakat didalam pembuatan akta pendirian BHP meningkat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengharapkan pengelolaan pendidikan yang mandiri dan transparan dengan wadah BHP. Disamping ada kewajiban untuk menyesuaikan tata kelola Yayasan dengan BHP Penyelenggara. Oleh karena itu, pengetahuan yang mendalam mengenai BHP sangatlah penting bagi Notaris untuk meningkatkan kualitas akta.
Google
 
Web www.notariatwatch.tk