Rabu, 24 Juni 2009

Masih Relevankah Pasal 1519 BW?

Beberapa waktu yang lalu, Dosen Teknik Perancangan Kontrak (TPK) saya, memberikan isu hukum mengenai jual beli dengan hak membeli kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 1519 BW. Kemudian, dosen saya memberikan dasar putusan Mahkamah Agung diantaranya, Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Februari 1983, Nomor 3804 K/Sip/1981 tentang Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 20 Maret 1989, Nomor 381 PK/Pdt/1986 tentang Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali. Menurut putusan –putusan tersebut perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali yang diatur dalam Pasal 1519 BW, adalah tidak diperbolehkan, karena beberapa hal, pertama mengandung unsur riba. Unsur riba disini dapat diartikan bahwa, pembeli menggunakan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, sebagai sarana untuk ’’memanfaatkan’’ penjual, dengan cara meningkatkan harga beli barang. Kedua, perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali adalah perjanjian hutang-piutang yang terselubung (semu). Artinya, bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali sebenarnya adalah perjanjian hutang piutang, yakni pemberian pinjaman dengan jaminan. Ketiga, perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali bertentangan dengan hukum adat, karena hukum adat tidak mengenal jual beli dengan hak untuk membeli kembali.

Bagi saya putusan tersebut menimbulkan pertanyaan besar, karena setelah saya teliti tidak ada yang salah dari Pasal 1519 BW, ’’kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang dijualnya, dengan mengembalikan harga pembelian asal yang disertai penggantian yang disebutkan dalam Pasal 1532 BW. Penggantian di dalam Pasal 1532 adalah penggantian biaya menyelengarakan pembelian dan penyerahan serta perbaikan terhadap barang tersebut.

Pasal tersebut melindungi hak penjual untuk mengambil kembali barang yang dijual sesuai harga pembelian asal ditambah biaya pengantian. Menurut saya biaya penggantian adalah hal yang wajar, pembeli tentunya membutuhkan biaya administrasi atau pemeliharaan untuk menjaga dan memperbaiki barang tersebut. Misalnya, biaya pembuatan akta dan memelihara obyek perjanjian.

Apabila diperhatikan dari putusan-putusan tersebut, majelis hakim tidak memperbolehkan penggunaan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali karena alasan tertentu (kausitif) atau motif, yakni alasan yang bertentangan undang-undang, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Artinya, apabila tidak bertentangan perjanjian tersebut sebenarnya dapat dilaksanakan, Apalagi tujuan utama dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, adalah untuk menolong golongan ekonomi lemah untuk memperoleh kredit.

Dengan demikian perjanjian jual beli dengan hak untuk menjual diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 BW) serta syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 BW).

Pasal 1519 BW Tidak Bertentangan dengan Hukum Adat

Prinsip pelaksanaan jual beli tanah di dalam UUPA tidak lepas dari hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPA ’’Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat …’’ Karena itu Konsep jual beli tanah dalam hukum ada bersifat kongkret, kontan nyata dan riil.

Konkret/nyata/ riil serta kontan artinya tanah yang diperjual belikan harus diserahkan pada pembeli seketika pembayaran telah dilakukan.

Sejalan dengan pemikiran Boedi Harsono tentang pengertian jual beli tanah. Pengertian jual beli adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk dalam hukum agraria atau hukum tanah.

Selain bersifat konkret/nyata/riil dan kontan, jual beli tanah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu syarat materiil dan syarat formil.

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut :

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan.

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.

Sedangkan mengenai syarat formil, dilakukan setelah persyaratan materiil dipenuhi.

Pelaksanaan syarat formil dilakukan oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta berkaitan dengan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juga telah mengatur bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.

Disamping itu, peraturan tersebut menyebutkan bahwa dengan dibuatnya akta jual beli tanah oleh PPAT, pada saat itu juga hak sudah beralih dari penjual kepada pembeli. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum adat.

Berdasarkan penjelasan diatas, kami berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung yang menyatakan jual beli dengan hak membeli kembali tidak dikenal dalam hukum adat adalah kurang tepat, karena jual beli tersebut telah dilakukan sesuai dengan prinsip hukum adat sehingga sah secara hukum. Hanya saja terdapat klausul hak membeli kembali yang tidak dikenal dalam hukum adat.

Seharusnya klausul hak untuk membeli kembali dimaknai sebagai klausul ikutan (accesoir) yang terpisah dari perjanjian utama, Misalnya, debitor dapat membuat pernyataan yang isinya akan membeli kembali persil selambat-lambatnya dalam jangka waktu dan harga tertentu yang telah disepakati.

Hal ini sama dengan metode ikatan jual beli yang dewasa ini sering digunakan untuk membeli persil dimana pembeli belum dapat melunasi harga, sehingga sisa pembayaran diangsur secara bertahap pada pengembang. Apabila pembayaran telah lunas baru dibuat akta jual beli dihadapan PPAT.
Dengan demikian jual beli tanah dengan hak membeli kembali tetap sah, apabila dilakukan perjanjian secara terpisah dan sesuai asas kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 BW) serta syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 BW).

Tidak ada komentar:

Google
 
Web www.notariatwatch.tk