Rabu, 24 Juni 2009

Hukum Investasi: Sosialis yang Neolib

Akhir-akhir ini masyarakat sering mendengar kata-kata asing Neo Liberalisme. Mengapa saya sebut kata-kata asing? Karena mungkin bagi sebagian orang yang berpendidikan kata-kata tersebut mudah dimengerti. Akan tetapi, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan pasti membingungkan. Karena itu tidak heran jika salah satu tim sukses capres berupaya memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai makna dari kata-kata asing tersebut, sebelum dijadikan komoditi lawan politik untuk menjatuhkan pamor pasangan capres tersebut..

Kata Neo Liberalisme berasal dari kata liberalisme. Liberalisme adalah konsep ekonomi berdasarkan pasar bebas. Menurut Adam smith, pasar bebas adalah jalan terbaik bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini memicu free enterprises dan free competition yang dapat diartikan sebagai kebebasan bagi kapitalis untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya (Rubrik Opini JP, 8 Juni 2009). Tidak heran banyak kalangan, utamanya mahasiswa yang menolak konsep liberalisme, karena konsep tersebut menyebabkan banyak aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dijual kepada asing, karena tidak mampu bersaing. Masih ingat pada saat era Menteri BUMN Laksamana Sukardi, beberapa BUMN, diantaranya TELKOM dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) Air di Jakarta diprivatisasi atau sebagian besar sahamnya dijual kepada asing. Hal ini bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945,’’Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat…’’

Ekonomi Kerakyatan
Konsep ekonomi Negara Indonesia apabila diperhatikan dari konstitusi Pasal 33 UUD 1945 menganut sistem ekonomi sosialis, karena negara ikut mengatur pelaksanaan sistem ekonomi di negara tersebut, misalnya negara mengatur mengenai tarif listrik, harga BBM (Bahan Bakar Minyak), tarif jasa kepelabuhanan, barang yang dapat diimpor dan diekspor dan lainnya. Pengaturan oleh Negara tersebut dilimpahkan kepada badan-badan usaha milik pemerintah, seperti BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD. Tujuannya adalah pemerintah dapat mengatur bumi, air, dan kekayaan alam di Indonesia untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.

Kendati demikian, pelaksanaan di lapangan sistem ekonomi sosialis ini tidak sepenuhnya dilaksanakan secara murni dan konsisten, negara tetap membuka kran-kran investasi untuk masuk ke Indonesia. Hal ini dikarenakan, negara tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan industri lokal, dana dan tenaga untuk mengeksplor kekayaan alam di Indonesia serta membangun infrastruktur, sehingga harus mendatangkan investor asing, diantaranya Freeport, Exxon, Shell, dan lainnya. Kondisi tersebut sejalan dengan teori Penanaman Modal Asing (PMA) Neo-Classical Economic Theory yang mengutamakan sisi positif dari FDI (Foreign Direct Investment) terhadap host country (negara penerima investasi). Sisi positif tersebut diantaranya, penanam modal asing biasanya membawa modal ke host country yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas formasi di host country, aliran modal dan penanaman modal kembali keuntungan mendorong peningkatan ’’total saving’’ di host country, pendapatan pemerintah meningkat melalui pajak dan pembayaran, transfer technology, managerial dan marketing skills, market information dan lainnya. Sayangnya teori tersebut tidak monitor dengan baik, sehingga banyak penyalagunaan yang justru merugikan host country, diantaranya mengenai pencemaran lingkungan, kesenjangan sosial dan konflik sosial serta eksploarsi yang tidak terdata. Kondisi inilah yang mendorong para politisi untuk menggunakan ’’kesempatan’’ tersebut untuk memproklamirkan agar negara kembali kepada ekonomi kerakyatan yang berlandaskan pada konstitusi dan Pancasila.

Neoliberalisme Bukan Neokolonialisme
Neoliberalisme bukanlah Neokolonialisme, karena Neo Kolonialisme adalah bentuk penjajahan (kolonialisme) baru (neo). Pejajahan tersebut berupa penjajahan ekonomi, seperti masuknya produk-produk asing sehingga dapat menghancurkan produk-produk dalam negeri karena kalah bersaing. Sedangkan, Neoliberalisme dapat dikatakan adalah sebuah ekonomi liberal yang telah dimodifikasi (baru) sehingga negara dalam hal tertentu dapat melakukan intervensi. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi pelaksanaan sistem ekonomi yang keblabasan dan berakibat krisis ekonomi.

Neoliberalisme ini tidak lepas gagasan dari John Maynard Keynes yang menyatakan bahwa pemerintah dan bank sentral harus turut campur dalam perekonomian agar tercapai kesempatan kerja atau full employment. Gagasan ini sering dikaitkan dengan Washington Consensus yang terdiri dari liberalisasi pasar, peningkatan FDI, privatisasi, deregulasi, disiplin fiskal, tax reform, subsidi pemerintah agar tepat sasaran (untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur), liberalisasi suku bunga, kurs yang kompetitif, dan penghargaan pada property right (Rubrik Opini JP, 8 Juni 2009).

Kendati terdapat intervensi pemerintah dan bank sentral, konsep Neoliberalisme dinilai masih terlalu bebas bagi negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang belum siap untuk menghadapi neoliberalisme, karena kondisi usaha kecil lebih besar dibandingkan usaha besar. Hal ini dapat mengakibatkan usaha kecil akan semakin terhimpit dan usaha besar semakin besar karena mereka memiliki kapital yang besar, pangsa pasar yang luas dan teknologi.

Neoliberalisme Versi Indonesia
Kendati Indonesia merupakan negara yang memiliki basic sosialis sesuai Pasal 33 UUD 1945, namun secara tidak langsung Indonesia telah menerapkan neoliberalisme, Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia tidak lepas dari Washington Consensus, diantaranya privatisasi terhadap BUMN dan BUMD, deregulasi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, peningkatan FDI dengan mengundang para investor untuk datang dan berinvestasi di Indonesia, subsidi terhadap pendidikan sebesar 20% dari APBN, kesehatan infrastruktur maupun hak atas kekayaan intelektual yang berada di bawah naungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebenarnya yang terpenting bukanlah membahas mengenai ekonomi kerakyatan atau neoliberalisme, akan tetapi bagaimana mengemas sebuah kebijakan untuk mengatur dua sistem tersebut sehingga dapat harmonis serta memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

hehehe..klo gw termasuk yg mendukung privatisasi bro, klo emang pemerintah kita gk mampu ngurusin yah silahkan saja d kelola pihak lain yg lebih capable..toh manfaatnya juga kita terima kan?!
-just imho-

Oscar Yogi Yustiano mengatakan...

Sepakat bro. Tapi kita masih membutuhkan batasan dalam berinvestasi spy tidak diambilalih secara penuh oleh swasta. Misalnya, batasan kepemilikan saham hanya 49%. Dengan begitu, kita dapat mengambil manfaat dari privatisasi tanpa kehilangan kepemilikan perusahaan.

Google
 
Web www.notariatwatch.tk