Rabu, 08 Juni 2011

Kenapa Mesti Menyuap?

Penangkapan terhadap hakim yang terlibat suap terjadi lagi, kini yang ditangkap adalah Hakim senior yang merupakan Hakim Pengawas Kepailitan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin. Syarifuddin ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena diduga telah menerima suap dari Puguh Wiryawan, Kurator dalam perkara kepailitan PT Skycamping Indonesia. Penangkapan terhadap hakim ini bukanlah yang pertama kalinya. Melainkan telah menjadi sebuah rentetan catatan buruk penegak hukum. Diantaranya adalah hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, Ibrahim, yang tertangkap tangan menerima suap Rp 300 juta dari pengacara, kemudian hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Muhtadi Asnun, yang ditangkap, karena menerima suap Rp 50 juta saat membebaskan kasus penggelapan pajak dengan terdakwa Gayus Tambunan. Selain hakim, terdapat aparat yang masih dilingkaran peradilan yang kerap disuap oleh Pengacara, diantaranya adalah panitera pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Ramadhan Rizal, yang ditangkap karena menerima uang suap dari pengacara sebesar Rp 249,9 juta, kemudian Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, M. Soleh, yang ditangkap karena menerima uang sebesar Rp 249,9 juta dari pengacara.

Dari paragraf di atas dapat ditemukan tiga kata utama, pertama adalah Hakim dan Panitera, kedua adalah pengacara, ketiga adalah Suap. Mengapa saya katakan utama, karena keberadaannya saling berkaitan dan mempengaruhi. Pertama, hakim dan panitera. Peran hakim sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah memeriksa, mengadili dan memutus sebuah perkara. Kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus adalah kewenangan sangat luar biasa, karena hakim dapat memutus nasib seseorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Namun demikian, kewenangan tersebut ibarat pedang bermata dua, karena jika digunakan secara benar akan memberikan keadilan bagi pencari keadilan, akan tetapi, jika disalahgunakan dapat menyebabkan banyak pencari keadilan yang menjadi korban, seperti halnya yang dilakukan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Herman Allositandi dan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Andry Djemi Lumanauw, yang menyalagunakan kewenangannya untuk memeras saksi perkara kasus perkara korupsi PT Jamsostek, dengan memanfaatkan celah hukum. Kemudian, peran panitera sejatinya bertugas membantu hakim, malahan menjadi ‘perantara’ antara penyuap dengan hakim.

Kedua, pengacara atau Advokat. Advokat sesuai Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Namun di dalam prakteknya, seorang Advokat sering keblabasan di dalam memberikan jasa hukum kepada kliennya, dengan menghalalkan segala cara, diantaranya adalah dengan menyuap hakim demi ‘memenangkan’ kliennya. Sedangkan, yang terakhir adalah Suap. Suap adalah salah satu cara terbukti ‘ampuh’ menghancurkan benteng pertahanan hakim, untuk ‘memenangkan’ suatu perkara, dengan melanggar peraturan perundang-undangan.




Siapa yang Memulai?

Mencari penyebab terjadinya suap adalah ibarat mencari asal usul telur dan ayam, mana yang lebih dahulu ada, telur atau ayam? Namun pada dasarnya, permasalahan terkait suap-menyuap ini seyogyanya tidak perlu terjadi apabila salah satu pihak tidak memulai terlebih dahulu. Misalnya, seorang advokat di dalam menjalankan tugasnya tidak melakukan penyuapan, maka dijamin tidak ada hakim dan panitera yang ‘nakal’, sehingga hakim dapat memeriksa, mengadili dan memutus secara obyektif, atau sebaliknya Hakim tidak menyalagunakan kewenangannya dengan tidak meminta uang suap, maka tidak ada advokat yang berani untuk menyuap.

Peradilan yang Jujur dan Profesional

Pengadilan di Indonesia saat ini seperti panggung sandiwara, sebab segala sesuatunya seperti dapat ‘diatur’. Hakim, jaksa, panitera dan advokat seakan-akan sangat pintar menjalankan perannya masing-masing, sehingga atau lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Sebutlah kasus yang terkenal, Sengkon dan Karta, kasus yang menimpa petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat terjadi pada tahun 1977. Di dalam kasus Sengkon dan Karta dimana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi salah di dalam memutuskan perkara, dengan menjatuhi hukuman 12 tahun penjara untuk Sengkon dan 7 tahun Penjara kepada Karta atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan tinggi Jawa Barat. Namun pada kenyataannya, setelah Sengkon dan Karta menghuni LP Cipinang, ada seorang penghuni LP Cipinang, Gunel, yang mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Alhasil, Gunel diadili dan dihukum sepuluh tahun penjara. Apakah sebenarnya yang terjadi dengan para penegak hukum kita? Renumerisasi terhadap hakim telah diberikan, akan tetapi mengapa masih terjadi korupsi? Apakah fenomena yang terjadi pada Hakim Syarifuddin merupakan bukti moral para penegak hukum kita yang terjangkit ‘penyakit’ kronis atau sistem peradilan kita yang perlu dibenahi? Padahal peraturan perundang-undangan maupun kode etik telah jelas-jelas melarang seorang advokat untuk menyuap atau seorang hakim untuk menerima suap. Di dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa seorang Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional dan berpengalaman dibidang hukum. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang diantaranya menyebutkan adalah Hakim tidak diperbolehkan meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan atau fasilitas dari Advokat, Penuntut, Orang yang sedang diadili, Pihak lain yang kemungkinan kuat diadili dan Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mepengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. Begitu juga dengan Advokat. Di dalam Kode etik advokat tanggal 23 Mei 2002 yang dikeluarkan Komite Kerja Advokat Indonesia, disebutkan Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan. Artinya advokat di dalam menjalankan tugasnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perbaikan terhadap sistem peradilan di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang imaginer, karena dewasa ini telah bertumbuh lembaga-lembaga eksternal yang memiliki fungsi untuk mengawasi pelaksanaan kinerja dari penegak hukum. Lembaga eksternal tersebut. Diantaranya, adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Ombudsman serta Pengawas dari organisasi profesi (misalnya. PERADI). Namun, keberadaan lembaga-lembaga tersebut seringkali dipandang sebelah mata, sehingga perannya belum maksimal. Padahal jika dimaksimalkan, dapat memberikan kontribusi positif bagi pembenahan penegak hukum di Indonesia, karena telah didukung aturan yang jelas, dan Sumber Daya Manusia yang professional dan mumpuni di dalam menjalankan tugasnya, serta peralatan pendukung yang canggih. Misalnya, seorang Advokat di dalam menjalankan tugasnya menemukan indikasi ‘permainan’ antara majelis hakim dengan pihak lawannya dipersidangan, maka Advokat dapat melaporkan secara tertulis hal tersebut kepada Komisi Yudisial sehingga dapat segera ditindaklanjuti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Sebaliknya, seorang hakim menemukan gelagat yang tidak beres terhadap seorang Advokat, maka hakim tersebut dapat melaporkan kepada organisasi profesi dari Advokat tersebut agar segera ditindaklanjuti oleh Dewan Kehormatan organisasi profesi tersebut, untuk diperiksa dan diadili sesuai kode etik atau dibawa ke ranah pidana apabila tindakannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Oleh karena itu, mengapa kita sebagai masyarakat, hakim, advokat, jaksa, terdakwa, tidak melaporkan kepada lembaga-lembaga tersebut yang memang diberikan tugas menangani hal-hal seperti itu? Apalagi saat ini telah ada yang namanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang bertugas untuk melindungi para saksi, wistleblower’s dan korban, yang melaporkan terjadinya suatu tindak pidana sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan melaporkan kepada lembaga pengawas eksternal, maka kita ikut menjaga ritme penegakan hukum kita berjalan dengan baik sehingga dapat mendukung sistem peradilan yang jujur dan profesional. Jadi, Kenapa mesti menyuap?
Google
 
Web www.notariatwatch.tk