Minggu, 30 Januari 2011

MoU Bukanlah Perjanjian

Beberapa kali saya membaca pemberitaan di media massa maupun mendengar percakapan yang terkait dengan Nota Kesepahaman atau yang biasa disebut MoU (Memorandum of Understanding) yang isinya menyamakan antara MoU dengan Perjanjian. Diantaranya, adalah mengenai MoU tentang Pembangunan Pasar Turi antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Para Pedagang Pasar Turi. Di dalam pemberitaan mengenai realiasi MoU tersebut banyak diperdebatkan mengenai klausul-klausul status bangunan (strata title atau hak pakai) (Surya.co.id, 23 November 2010), dan penyelesaian sengketa, yang menurut hemat saya, klausul-klausul tersebut adalah klausul yang lazim digunakan dalam perjanjian. Hal ini perlu diluruskan, karena MoU bukanlah Perjanjian.

MoU
Pengaturan mengenai MoU tidak ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pengertian MoU dapat ditemukan di dalam kamus hukum yang biasa digunakan para penegak hukum, yakni Black’s Law Dictionary. Pengertian MoU di dalam Black’s Law Dictionary adalah sebagai berikut :

A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a non committal writing preliminary to a contract. A letter of inten is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with third party.(Pernyataan kesepahaman tertulis antara kedua belah pihak sebelum memasuki sebuah kontrak, MoU tidak mengikat para pihak serta tidak menghalangi para pihak untuk berhubungan dengan pihak ketiga)

Pengertian di atas mengandung beberapa unsur dari MoU yang dapat diuraikan sebagai berikut : Unsur pertama adalah MoU merupakan pernyataan kesepahaman antara kedua belah pihak sebelum memasuki sebuah kontrak. Artinya, sebelum membuat perjanjian, kedua belah pihak membuat MoU untuk menunjukan keseriusan. Namun demikian, tidak ada keharusan bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan ke dalam perjanjian apabila di dalam pelaksanaan MoU kedua belah pihak tidak menemukan ‘kecocokan’. Misalnya, kedua belah pihak tidak kunjung menemukan kesepakatan terhadap klausul/pasal yang akan dituangkan di dalam perjanjian.

Unsur Kedua adalah MoU tidak mengikat kedua belah pihak. Artinya, salah satu pihak tidak dapat menuntut pihak lainnya jika tidak memenuhi isi dari MoU. Hal ini berbeda dengan perjanjian, karena di dalam pelaksanaan perjanjian, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban di dalam perjanjian, maka pihak tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Akibatnya, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Misalnya, di dalam perjanjian jual beli kendaraan, penjual tidak mengirimkan kendaraan tepat pada waktunya, maka pembeli dapat menuntut ganti rugi. Hal ini diatur dalam 1239 Burgerlijk Wetboek (BW)/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perbedaan lainnya adalah MoU berisi klausul yang sederhana, diantaranya klausul maksud dan tujuan MoU, jangka waktu MoU, hak dan kewajiban yang sederhana seperti memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk saling mengenal dengan menginformasikan latar belakang masing-masing pihak atau melakukan persiapan-persiapan pembuatan perjanjian, dan pembentukan tim dsb.

Sedangkan, klausul di dalam perjanjian mengatur secara detail hak dan kewajiban kedua belah pihak. Misalnya, di dalam perjanjian pemborongan pekerjaan pembangunan rumah sakit diatur mengenai klausul- klausul berikut : dasar perjanjian, maksud dan tujuan, jangka waktu penyelesaian pekerjaan, obyek pekerjaan, hak dan kewajiban, cara pembayaran sanksi-sanksi jika wanprestasi terhadap kewajiban, pemutusan perjanjian, penyelesaian sengketa, dan lainnya.

Unsur Ketiga adalah tidak menghalangi para pihak untuk berhubungan dengan pihak ketiga. Artinya, kendati para pihak telah membuat MoU, para pihak tetap dapat berhubungan dengan pihak ketiga. Misalnya, di dalam pelaksanaan pekerjaan jalan, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Kota Surabaya telah melakukan MoU dengan PT A . MoU tersebut tidak menghalangi BUMD tersebut untuk melakukan MoU dengan PT B untuk obyek yang sama.

Mengenal Perjanjian

Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Artinya, perjanjian tidak dapat dilakukan seorang diri (satu pihak), perjanjian terjadi apabila dua orang atau lebih saling mengikatkan diri.

Disamping itu suatu perjanjian dianggap sah secara hukum apabila telah memenuhi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yakni pertama, para pihak harus sepakat/setuju untuk melaksanakan perjanjian. Misalnya, si A menjual mobilnya kepada si B, maka kedua belah pihak (si A dan B) harus sepakat untuk melaksanakan jual beli, yakni si A menyerahkan mobil dan si B menyerahkan pembayaran sejumlah uang sesuai kesepakatan.

Kedua, para pihak harus cakap. Artinya, para pihak harus sudah dewasa di dalam melakukan perbuatan hukum, yakni berumur 21 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata’’Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin’’.

Ketiga adalah perjanjian tersebut mengatur hal-hal tertentu. Artinya, perjanjian haruslah berisi hal-hal tertentu. Misalnya, perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian hibah, perjanjian fidusia, perjanjian leasing dan sebagainya.

Dan yang keempat adalah isi dari perjanjian haruslah mengatur hal-hal yang diperbolehkan. Artinya, perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perjanjian yang dilarang, diantaranya adalah perjanjian judi, perjanjian hutang-piutang dengan bunga yang tidak wajar dan perjanjian makar.

Disamping itu, perjanjian adalah sesuatu yang istimewa karena diperlakukan laiknya undang-undang bagi para pembuatnya (Pacta Sunt Servanda) sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata,’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya’’.

Pemaknaan undang-undang bukanlah seperti peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, pemaknaan tersebut ingin menegaskan bahwa perjanjian adalah sesuatu hal yang sakral bagi kedua belah pihak, karena perjanjian adalah hasil dari kesepakatan kedua belah pihak yang didasari dengan itikad baik. Oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.
Google
 
Web www.notariatwatch.tk