Senin, 19 Juli 2010

Seputar Hak Pengelolaan

Beberapa kali media massa lokal Surabaya memberitakan permasalahan terkait Hak Pengelolaan, pertama adalah proses perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) PT Ketabangkali yang berada di Hak Pengelolaan PT SIER (Persero) yang berujung dijadikannya Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II, Indra Iriansyah, sebagai tersangka karena dianggap bertanggungjawab atas dugaan korupsi Rp. 600 juta terkait perpanjangan HGB di kawasan Industri Surabaya Industrial Estate Rungkut, kedua adalah pro dan kontra antara PT Surya Inti Permata (SIP) dengan Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) mengenai tanah dan bangunan di Dukuh Kupang Barat, di kawasan Surabaya Selatan dan yang terakhir dan paling hangat adalah permasalahan pengelolaan kebun bibit antara Pemkot Surabaya dengan PT SIP.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan (HPL) dan bagaimana asal muasal dari HPL. Hak Pengelolaan menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Istilah Hak Pengelolaan berasal dari hak penguasaan yang diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, yakni hak yang diberikan pemerintah kepada suatu kementerian atau jawatan atau daerah swatantra untuk keperluan dan peruntukkan kepentingan tertentu dari kementerian atau jawatan maupun kepentingan daerah swatantra.
Pakar hukum pertanahan AP. Parlindungan menyebutkan bahwa Istilah Hak Pengelolaan itu tidak dari semula bernama Hak Pengelolaan tetapi mengambil terjemahan dari bahasa Belanda Beheersrecht, maka pada waktu itu diterjemahkan sebagai hak penguasaan. Hak penguasaan sendiri berasal dari makna hak menguasai dari Negara yang merupakan perwujudan dari asal muasal hukum pertanahan di Indonesia.

Domeinverklaring

Dahulu, di era penjajahan Belanda, hak menguasai Negara dimaknai sebagai hak pemerintah Belanda untuk memiliki tanah-tanah rakyat Indonesia yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya atau lebih dikenal dengan domeinverklaring.
Namun demikian, kondisi ini tidak berlangsung lama, karena pada saat masa kemerdekaan Indonesia politik hukum pertanahan telah berubah, yaitu makna menguasai dari Hak Menguasai Negara bukan lagi berarti memiliki akan tetapi mengelola demi kepentingan masyarakat Indonesia, karena tanah di wilayah Indonesia adalah milik dan hak bangsa Indonesia sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), ’’Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia’’.
Negara hanya mengatur dan menyelengarakan peruntukan tanah, karena pada hakekatnya tanah di Indonesia adalah milik bangsa Indonesia (hak bangsa) sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 UUPA, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wujud penyelengaraan tersebut adalah dikeluarkannya macam-macam HAT, yakni Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya. Disamping HAT, Negara juga dapat melimpahkan sebagian hak penguasaannya kepada instansi, pemerintah daerah dan BUMN.

Ijin Pemakaian Tanah (IPT)

Pemerintah Kota Surabaya merupakan salah satu daerah swatantra yang memperoleh pelimpahan hak pengelolaan (HPL) dari Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang menyebutkan bahwa Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Tujuannya adalah untuk mendukung kegiatan pemerintahan. Disamping untuk mendukung kegiatan pemerintahan, Pemkot Surabaya dapat menyewakan/memberikan penggunaan bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga atau masyarakat umum.

Bentuk sewa/pemberian hak bagian tanah HPL berupa Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau yang biasa disebut sebagai surat ijo (disebut surat ijo karena warna dokumennya hijau). Izin Pemakaian Tanah memang bukanlah dokumen yang asing di kalangan masyarakat Surabaya, karena hampir sebagian masyarakat Surabaya memakai tanah Pemkot Surabaya dengan IPT. Mereka rata-rata menggunakan tanah tersebut untuk rumah tinggal atau tempat bisnis. Sedangkan, untuk mendirikan bangunan mereka juga harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkot Surabaya.

Dokumen IPT bukanlah dokumen kepemilikan tanah seperti halnya sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan, melainkan dokumen izin untuk memakai tanah yang penggunaannya dibatasi oleh waktu. Karena itu, tidak heran apabila Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) Pemkot Surabaya pada waktu-waktu tertentu, banyak didatangi warga yang hendak memperpanjang waktu penggunaan IPT atau balik nama IPT karena jual beli. Para pemegang IPT juga diwajibkan untuk membayar retribusi.

Penyerahan Penggunaan Tanah kepada pihak ketiga dilaksanakan dengan IPT, karena Pemkot Surabaya merupakan badan publik yang terdiri dari kumpulan pejabat publik (tata usaha negara) yang tunduk pada hukum publik, diantaranya adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Produk hukum dari pejabat publik berupa keputusan-keputusan, diantaranya keputusan untuk memberikan izin penggunaan bagian tanah HPL.

Oleh karena itu, di dalam kasus kebun bibit terdapat sedikit kejanggalan, pasalnya di dalam pemberian penggunaan HPL kepada PT SIP pada tanggal 17 Februari 1998 dan PT Floraya pada tanggal 4 Oktober 2001 dilakukan dengan perjanjian (Metropolis, 22 Juni 2010). Seharusnya, produk hukum yang dikeluarkan pemkot Surabaya adalah surat izin dalam hal ini adalah IPT.

Hal ini berbeda dengan pemberian penggunaan bagian tanah HPL oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemberian penggunaan bagian tanah HPL oleh BUMN dilaksanakan dengan perjanjian, karena BUMN adalah badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang tunduk pada hukum privat, yakni Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang mana di dalam melakukan tindakan pengurusan PT didasarkan dengan alas hukum berupa perjanjian. Pendapatan yang diterima BUMN atas pemberian penggunaan bagian tanah HPL berupa uang pemasukan bukan retribusi.

Dengan demikian seharusnya perjanjian penggunaan HPL antara Pemkot Surabaya kepada PT SIP pada tanggal 17 Februari 1998 dan PT Floraya pada tanggal 4 Oktober 2001 adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, yakni terkait dengan kecakapan dan causal yang diperbolehkan (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Kecakapan ini adalah kepantasan subyek hukum di dalam melakukan perbuatan hukum yang dilihat dari umur, yakni harus dewasa (berusia 21 tahun). Akan tetapi, jika dilakukan interprestasi secara gramatikal, makna cakap bisa diartikan kapasitas para pihak di dalam melakukan perjanjian. Seorang pejabat publik di dalam konteks pemberian penggunaan bagian tanah HPL tidak memiliki kapasitas melakukan perjanjian, melainkan membuat/mengeluarkan Izin Pemakaian Tanah.

Kemudian terkait causal yang diperbolehkan, Pemkot Surabaya, PT SIP dan PT Floraya telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4 Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 01 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Penyelesaian Izin Pemakaian Tanah, yang intinya produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemkot Surabaya seharusnya adalah izin pemakaian tanah bukan perjanjian.
Google
 
Web www.notariatwatch.tk