Selasa, 16 Februari 2010

Pentingnya Klausul Arbitrase dalam Perjanjian


Perkembangan dunia bisnis yang begitu pesat memberikan dampak yang positif bagi perkembangan suatu daerah, baik dalam hal pembangunan maupun kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, perkembangan tersebut juga mendorong munculnya berbagai macam sengketa terkait permasalahan hukum bisnis. Oleh karena itu, permasalahan tersebut harus dibarengi dengan proses penyelesaian sengketa yang cepat, akurat dan akuntable serta tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Sayangnya, pengadilan sebagai ujung tombak penegakan hukum belum memberikan perubahan yang berarti, masih terjadi proses peradilan masih bertele-tele dan memakan biaya tidak sedikit. Proses mediasi oleh majelis hakim pada saat persidangan juga tidak efektif. Buktinya, pada disertasi salah satu mahasiswa yang dibimbing oleh Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Erman Rajaguguk, SH, LLM, PhD, mengenai efektifitas mediasi dalam persidangan, menyebutkan bahwa dari 500 perkara yang dilaksanakan dengan mediasi, hanya 5 yang berhasil didamaikan. Artinya, hanya 1 % yang berhasil dengan cara mediasi. Oleh karena itu, Erman Rajaguguk menyebutkan bahwa pengadilan memang diperuntukkan untuk para pihak yang tidak ingin didamaikan dan siap berkelahi.
Pada tahun 1999, sebagai anggota Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri, pemerintah Indonesia mengundangkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang intinya memperbolehkan penyelesaian di luar pengadilan, yakni dengan Arbitrase.
Definisi Arbitrase menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 adalah :
’’Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.’’

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan, sengketa yang tidak dapat menggunakan arbitrase adalah yang berkaitan dengan hukum publik, keluarga, pailit dan permasalahan lain yang tidak dapat didamaikan oleh para pihak menurut perundang-undangan (contoh: Kepailitan, Ketenagakerjaan, susunan pengurus dan permodalan perseroan).
Penyelesaian melalui Arbitrase memiliki beberapa kelebihan, diantaranya, Pertama adalah lebih cepat, karena diselesaikan dalam jangka waktu 455 hari, bahkan kurang. Kedua, biaya yang dikeluarkan untuk proses arbitrase dapat dipertanggungjawabkan, karena telah ditentukan dengan daftar tersendiri yang resmi. Ketiga, putusan badan arbitrase bersifat final dan binding. Artinya, putusan arbitrase telah memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak dan memiliki kekuatan eksekutorial setelah didaftarkan pengadilan negeri.
Kendati demikian putusan arbitrase dapat dibatalkan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, yaitu terhadap putusan arbitrase yang mengandung unsur-unsur :
a. Surat dan dokumen yang diajukan pada saat pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui sebagai surat dan dokumen palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan majelis arbitrase yang memutus perkara melebihi yang dimohonkan oleh pemohon? Di dalam Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, para pihak yang dirugikan karena kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan, dapat melakukan koreksi paling lambat 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Kelebihan yang kelima adalah pemeriksaan sengketa dilaksanakan secara tertutup, sehingga privasi para pihak tetap terjaga dari publikasi media atau pihak lain. Keenam, para pihak dapat memilih para arbiternya sendiri-sendiri dengan dasar asas kepercayaan. Tentunya, harus mengacu dengan kualifikasi arbiter yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, yakni cakap melakukan tindakan hukum, berumur paling rendah 35 tahun, tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa, tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan Arbitrase; dan memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun.
Erman Rajaguguk mengatakan bahwa salah satu kelebihan dari arbitrase adalah para pihak dapat memilih arbiternya dengan terlebih dahulu berkomunikasi dengan arbiternya. Artinya, para pihak dapat mengetahui peluang untuk menang di dalam proses arbitrase. Meski demikian, arbiter tetap menjaga netralitas. Bahkan, seorang arbiter memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Misalnya, para pihak tersebut pernah menjadi klien arbiter tersebut atau para pihak tersebut adalah saudara dari arbiter.
Perlu diketahui definisi Arbiter didalam Pasal 1 ayat (7) adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Jumlah arbiter harus ganjil. Karena itu, para arbiter (arbiter 1 dan 2) yang telah dipilih oleh para pihak harus menentukan satu arbiter lagi, yakni arbiter ketiga yang diangkat sebagai ketua majelis arbitrase. Arbiter dapat pula ditunjuk secara tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
Disamping itu, Arbiter dituntut memiliki kedisiplinan waktu sesuai proses beracara di arbitrase. Hal ini dapat diperhatikan dari Pasal 20 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang menyebutkan bahwa : dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut pada para pihak.
b. Pemilihan Forum Arbitrase (choice of forum) dan hukum yang berlaku (choice of law)
Para pihak bebas untuk menentukan sendiri pemilihan forum arbitrase dalam menyelesaikan sengketanya, melalui forum Arbitrase permanen atau Ad Hoc dari dalam/luar negeri baik, dan dengan menggunakan pilihan hukum yang berlaku seperti pilihan hukum Indonesia atau pilihan hukum asing. Sebagai contoh, terhadap suatu sengketa komersial para pihak dapat membawa sengketa tersebut untuk diperiksa, diadili dan diputus melalui forum Arbitrase permanen atau Ad Hoc dari dalam/luar negeri dengan menggunakan aturan hukum Indonesia/asing. Forum Arbitrase Dalam Negeri permanen (lembaga Arbitrase dalam negeri) antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASARNAS). Sedangkan, forum Arbitrase Luar negeri (lembaga Arbitrase luar negeri) sebagai contoh antara lain adalah Singapore International Arbitration Centre (SIAC), International Chambers of Commerce (ICC) dan United Nation Commission for International Trade Law (UNCITRAL). Adapun aturan hukum yang berlaku para pihak dapat menggunakan pilihan hukum dalam negeri (Indonesia, BANI Rule) atau asing (seperti SIAC Rules, ICC Rules atau UNCITRAL Rules).
Putusan forum Arbitrase dalam negeri/luar negeri yang menggunakan peraturan hukum arbitrase Indonesia atau asing, putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial setelah didaftarkan (deponering) di pengadilan. Untuk Putusan forum Arbitrase dalam negeri didaftarkan ke Pengadilan Negeri dimana objek perkara berada. Sedangkan, putusan Arbitrase dari forum luar negeri didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun apabila putusan Arbitrase forum luar negeri tersebut memiliki kompleksitas yang meluas maka PN Jakarta Pusat akan menyerahkannya ke Mahkamah Agung. Sebagai contoh, pelaksanaan Arbitrase di Surabaya dan peraturan arbitrase yang digunakan adalah dari UNICTRAL (Badan Arbitrase dibawah PBB), maka putusan tersebut adalah putusan dalam negeri dan untuk dapat memiliki kekuatan eksekutorial harus didaftarkan (dideponering) di Pengadilan Negeri Surabaya. Sebaliknya, apabila forum tersebut di luar negeri dan dilaksanakan dengan peraturan arbitrase asing, maka untuk dapat memiliki kekuatan eksekutorial harus didaftarkan di pengadilan setempat, yakni tempat forum tersebut diselengarakan. Misalnya, perkara PT. Pertamina v. Karaha Bodas yang menggunakan forum di Geneva, maka putusan tersebut adalah putusan luar negeri yang harus didaftarkan di Pengadilan di Geneva. Kalaupun ada pembatalan putusan Arbitrase tersebut, maka pembatalannya harus diajukan ke pengadilan Geneva bukan Pengadilan Negeri Dalam Negeri. Hal ini sesuai dengan Konvensi New York 1958.
c. Negosiasi Bagian dari Proses Arbitrase
Proses negosiasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Negosiasi adalah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan cara mengatur kepentingan para pihak secara efektif dan efisien. Atau, Negosiasi adalah suatu cara yang sangat efektif untuk mendapatkan apa yang kita kehendaki.
Di dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu diawali dengan proses negosiasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Negosiasi dapat dikatakan sukses apabila kepentingan para pihak terlindungi secara maksimal. Sedangkan, Negosiasi yang gagal adalah apabila kepentingan yang terlindungi tidak berimbang, yakni kepentingan salah satu pihak terlindungi secara berlebihan, sedangkan kepentingan yang lain dirugikan atau kedua pihak dirugikan.
Menurut Herb Cohen dalam Bukunya You Can Negotiate Anything, tipe negosiator terbagi menjadi tiga, yakni :
a. Negosiator Win-Lose;
b. Negosiator Lose-Lose;
c. Negosiator Win-Win.
Negosiator sebagaimana huruf a dan b diatas adalah tipe negosiator yang tidak seimbang, karena salah satu pihak atau kedua belah pihak dirugikan. Sedangkan, negosiator win-win adalah negosiator yang menguntungkan dan melindungi kedua belah pihak. Memang menjadi negosiator yang win-win tidaklah mudah karena membutuhkan kesabaran. Akan tetapi, hal tersebut merupakan seni untuk memenangkan masalah dengan cantik.
Tiga langkah penting didalam melakukan negosiasi adalah :
a. Persiapan yang mantap;
b. Pilih juru picara yang tepat;
c. Siapkan agenda.
Sepuluh langkah sebelum memasuki proses negosiasi :
1. Fahami diri sendiri (Kekurangan dan Kelebihan);
2. Fahami lawan (Kekurangan dan Kelebihan);
3. Fahami situasi dan kondisi yang mempengaruhi negosiasi;
4. Tetapkan target;
5. Tentukan Strategi dan Taktik;
6. Tetapkan apa yang akan dinegosiasikan;
7. Tulis pertanyaan yang perlu jawaban sehubungan dengan negosiasi;
8. Tetapkan posisi permulaan;
9. Pastikan : Seorang atau tim yang melakukan negosiasi;
10. Latihan.
Akan tetapi, dari langkah-langkah diatas adalah negosiator harus bisa menemukan inti dari permasalahan. Misalnya, dapat dianalogikan sebagai berikut:
’’Ada sebuah rumah yang bocor, kemudian, oleh pemiliknya hanya diberi penampung untuk menampung air hujan tersebut. Dengan menempatkan penampung air permasalahan dapat diselesaikan. Akan tetapi, hal tersebut adalah penyelesaian sementara, karena apabila hujan deras yang dapat menyebabkan penampung air penuh sehingga dapat menyebabkan banjir didalam rumah. Berbeda apabila, pemilik rumah bisa mencari sumber kebocoran, misalnya genting miring atau bocor dan segera memperbaiki. Maka, permasalahan tidak akan berulang kembali’’.

Cara lainnya di dalam melakukan negosiasi, yakni dengan metode BATNA (Best Alternative To A Negosiated Agreement) dari Profesor Harvard Roger Fisher dan Wiliam Ury. BATNA sebagai Best Alternative To a Negotiate Agreement (Alternatif terbaik untuk kesepakatan yang di negosiasikan). Penyusunan BATNA Anda (Patokan Akhir) :
• Untuk mengatasi patokan akhir yang tidak realistis dan tidak fleksibel.
• Tuliskan segala sesuatu yang menurut Anda dapat dilakukan jika Anda gagal mencapai persetujuan.
• Ubah alternatif yang paling menjanjikan menjadi pilihan-pilihan yang praktis.
• Pilih satu pilihan yang merupakan pilihan terbaik Anda, dan inilah pilihan terbaik Anda .
• Nilai semua usulan berdasarkan alternatif terbaik ini .
• Jika ada penawaran (offer) yang lebih baik daripada alternatif Anda, pertimbangkanlah untuk menerima penawaran tersebut.
• Jika penawaran lebih buruk dari pada alternatif terbaik Anda, negosiasikan untuk mengadakan perbaikan.
• Jika mereka tidak mau memperbaiki penawaran tersebut, gunakan alternatif terbaik Anda.
Tiga Langkah BATNA
1. INVENTARISASI ALTERNATIF
- Mendaftar semua yang dapat anda lakukan jika anda tidak mencapai kesepakatan
2. BANDINGKAN : KEBAIKAN/KEBURUKAN SETIAP ALTERNATIF
- Menjajaki pilihan yang terbaik dan berusaha meningkatkan pilihan tersebut
3. PILIH YANG TERBAIK
- Akhirnya anda memilih pilihan yang terbaik, inilah BATNA anda.
Isu dan Prioritas
Disamping itu, seorang negosiator harus dapat menentukan isu apa yang akan dibahas dalam proses negosiasi maupun prioritas dari masing-masing.
Prioritas dari masing-masing isu disusun dengan urutan sebagai berikut :
1. (Harus dapat)
2. (Sebaiknya dapat)
3. (Dapat : Bagus, Tidak Dapat : Tidak apa-apa)
Misalnya: didalam proses negosiasi pembayaran hutang piutang. Si berpiutang menginginkan agar Si berhutang membayar seluruh hutangnya. Maka, negosiator dapat menentukan skala prioritas sebagai berikut : Pertama mendapatkan pembayaran hutang (harus dapat). Kedua, mendapatkan pembayaran hutang plus denda (sebaiknya dapat). Ketiga adalah mendapatkan pembayaran hutang, denda dan mengkonversi piutang terhadap saham perusahaan milik pihak berhutang sehingga kita dapat ikut memiliki perusahaan tersebut (Dapat : Bagus, Tidak dapat : Tidak apa-apa).
atau sebaliknya,
1. (Dapat: Bagus, Tidak Dapat : Tidak apa-apa)
2. (Sebaiknya dapat)
3. (Dapat: Bagus, Tidak Dapat : Tidak apa-apa)
Misalnya: di dalam proses negosiasi pembayaran hutang piutang, negosiator menempatkan skala prioritas sebagai berikut : Pertama adalah mendapatkan pembayaran hutang, denda dan mengkonversi terhadap saham perusahaan milik pihak berhutang (Dapat : Bagus, Tidak dapat : Tidak apa-apa). Kedua, mendapatkan pembayaran hutang plus denda (sebaiknya dapat). Ketiga adalah Pertama mendapatkan pembayaran hutang (harus dapat). Di dalam proses negosiasi harus ada take and give agar seimbang. Misalnya, pihak berhutang menginginkan tidak membayar denda, maka pihak berpiutang memperbolehkan asal piutangnya dibayarkan.
d. Klausula Penyelesaian Sengketa
Banyak ahli hukum yang belum paham tentang Undang-Undang Arbitrase, sehingga didalam klausul penyelesaian sengketa seringkali menyebutkan penyelesaian sengketa yang tidak jelas atau membingungkan sebagaimana contoh klausula berikut ini :
Perjanjian Sale And Purchase Agreement tanggal 27 Juni 1996 antara PT. Dharma Niaga Ltd. v. Hati Prima Potasi PTE Ltd. yang menjadi perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 764/Pdt.P/1996/PN.JKT.BAR,
’’Any dispute arising under or relating to this Sale and Purchase Agreement, or the beach there of, which cannot be settled amicably between the parties shall be referred to and settled in Indonesia under the rules of Indonesian law’’.

Klausula diatas menyebutkan bahwa terhadap segala sengketa yang terjadi dikarenakan perjanjian penjualan dan pembelian yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah diantara para pihak, maka diselesaikan di Indonesia menurut hukum Indonesia. Hal ini membingungkan, karena penyelesaian sengketa menurut hukum Indonesia dibagi menjadi dua, yakni melalui pengadilan dan arbitrase. Dengan klausula tersebut, para pihak dapat menjalankan dua proses hukum sekaligus, yakni di pengadilan maupun arbitrase. Padahal, sesuai Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal tersebut juga terkait dengan kompetensi absolut kewenangan untuk mengadili. Misalnya, adalah putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Dato Wong Guong cs v. PT. Metropolitan Timber Ltd., No. 225 K/Sip/1976. Perkara ini timbul, karena sengketa mengenai kerjasama eksploitasi kayu di kepulauan Sanasa Kasiruta dan Mandioli Propinsi Maluku sehubungan dengan HPH yang dikeluarkan tahun 1969. Andries Gerardus Pengemanan sebagai Direktur PT. Gapki Trading Co. Ltd. telah menggugat Dato Wong Guong dan PT. Metropolitan Timber Ltd. di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehubungan kekurangan pembayaran dari hasil eksport kayu dalam rangka kerjasama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No. 310/1972 G tanggal 21 Maret 1973 mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Akan tetapi ditingkat banding, pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri meskipun menyatakan pengadilan negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI berpendirian pada Pasal 11 perjanjian yang menyebutkan bahwa :
’’If there any dispute arising that cannot be settled by both parties amicably then the matter concerned is subject just to an arbitration consisting of three arbitrator, one arbitrator shall be elected by each party and the third arbitrator to be elected jointly by the two arbitrator to act as refree’’.

Ketentuan Pasal 11 diatas menyangkut kekuasaan absolut untuk menyelesaikan perselisihan sengketa, yakni melalui musyawarah. Apabila tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah maka Badan Arbitraselah yang terdiri tiga orang yang telah disetujui oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Klausula penyelesaian sengketa yang membingungkan lainnya adalah Klausula dalam Perjanjian Emisi Efek berikut :
’’Perjanjian Emisi Efek harus diusahakan untuk diselesaikan secara musyawarah dan bilamana tidak tercapai persesuaian paham, maka perselesihan tersebut diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau Peradilan yang berwenang.’’

Kemudian, dalam klausula perjanjian penyelesaian sengketa melalui adhoc sedikit berbeda dengan klausul panitia adhoc, klausul panitia adhoc harus disebutkan teknis pemilihan arbiter sebagaimana klausul berikut :
’’Each Party shall appoint (one) within 7 (seven) days after a request therefor has been issued by either one of the parties to the other and 2 (two) arbitrators so appointed shall jointly appoint the third arbitrator. Should, however, the 2 (two arbitrators fail to appoint the third arbitrator within 14 (fourteen) days of the day the second arbitrator has been appointed, the chairman of The Central Jakarta Distric Court Shall be entitled to appoint the third arbitrator upon request of either party.’’

Demikian juga dengan biaya harus disebutkan dengan jelas.
e. Langkah Strategis Pengamanan Posisi Hukum Perusahaan Terkait Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase:
1. Mencantumkan klausul detail penyelesaian sengketa melalui Arbitrase terhadap Perjanjian yang bersifat strategis dan bernilai ekonomis tinggi bagi perusahaan, sebagai berikut:
PASAL 13
Penyelesaian Perselisihan
(1) Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan Perjanjian ini maka PARA PIHAK akan menyelesaikan musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam musyawarah tersebut tidak decapai kesepakatan, maka perselisihan akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat Kedua Belah Pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.
(2) Biaya-biaya yang timbul berkenaan dengan penunjukan BANI akan ditanggung oleh PARA PIHAK.
2. Tips yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan atau tim yang mewakili Perusahaan untuk melakukan Negosiasi dalam forum musyawarah penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:
a. Pahami dan pelajari lebih dahulu kelebihan dan kekurangan Perusahaan terkait pelaksanaan Perjanjian;
b. Pahami dan pelajari kelebihan dan kekurangan lawan terkait pelaksanaan Perjanjian;
c. Pahami dan kuasai situasi dan kondisi yang mempengaruhi Negosiasi;
d. Tentukan dan tetapkan isu yang akan dinegosiasikan;
e. Tentukan dan tetapkan target yang akan decapai, meliputi skenario (target) pertama, kedua dan alternatif;
f. Tentukan dan tetapkan strategi serta teknik, seperti -> jangan mengutarakan ancaman-ancaman penyelesaian melalui polisi/pengadilan dan jangan banyak membicarakan terkait kewajiban-kewajiban lawan.
g. Tulis daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada pihak lawan sehubungan dengan Negosiasi;
h. Tentukan posisi permulaan -> seperti, ajukan/bicarakan terlabih dahulu beberapa tawaran kewajiban-kewajiban kita (Perusahaan), untuk kemudian meminta beberapa kewajiban yang kita inginkan dari pihak lawan;
i. Pastikan cukup seorang saja juru bicara dari tim negosiasi yang mewakili perusahaan.
3. Kemudian, dalam hal musyawarah untuk mencapai mufakat gagal disepakati, langkah selanjutnya sebelum membawa sengketa ke BANI, Perusahaan perlu melakukan pendekatan secara personal/non teknis untuk meminta pendapat hukum/second opinion calon Arbiter dari BANI. Apabila terhadap second opinion calon Arbiter tersebut membawa arah angin penyelesaian lebih menguntungkan posisi perusahaan, maka sangat tepat bagi perusahaan untuk menunjuk Arbiter dimaksud sebagai Arbiter yang ditunjuk oleh perusahaan. Namun sebaliknya, apabila setelah dilakukan pendekatan calon Arbiter dimaksud berpendapat sejak awal bahwa posisi hukum perusahaan lemah, maka sudah sepatutnya perusahaan untuk tidak menunjuk Arbiter dimaksud dan mencari lagi calon Arbiter yang lebih tepat bagi Perusahaan.
4. Sebagai strategi dalam proses beracara di BANI, ditekankan pula terhadap Arbiter yang telah kita tunjuk untuk tetap konsisten terhadap arah penyelesaian hukum yang lebih menguntungkan Perusahaan. Bahwa perusahaan penting untuk menentukan dan menunjuk Arbiter, karena berdasarkan BANI Rules apabila perusahaan dalam jangka waktu 14 hari tidak juga menentukan untuk menunjuk Arbiter, maka sengketa akan diadili dan diputus oleh Arbiter (tunggal) yang telah ditunjuk oleh pihak lawan. Hal yang sangat menguntungkan perusahaan apabila pihak lawan tidak juga menentukan untuk menunjuk Arbiter dalam jangka waktu 14 hari, maka sengketa akan diputus oleh Arbiter yang ditunjuk oleh Perusahaan. Namun, apabila para pihak (perusahaan dan lawan) masing-masing telah menunjuk Arbiter, maka masing-masing Arbiter akan menunjuk/mengangkat Arbiter lagi dari BANI sebagai ketua majelis Arbiter. Untuk kemudian majelis Arbiter (terdiri dari beberapa Arbiter yang berjumlah ganjil, 3 atau 5 Arbiter dan diketuai oleh seorang ketua majelis)yang akan memutus penyelesaian sengketa.
5. Kemudian, terhadap putusan BANI yang telah berkekuatan hukum tetap:
a. Dalam hal putusan BANI memenangkan dan menguntungkan Perusahaan:
1) Segera mengawal, mengawasi dan memantau agar BANI mendaftarkan (deponering) putusan dimaksud ke Pengadilan Negeri tempat dimana objek sengketa berada;
2) Segera mengajukan permohonan / meminta fiat pelaksanaan eksekusi kepada ketua Pengadilan Negeri dimaksud;
3) Membantah segala upaya hukum pembatalan/keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak lawan terkait putusan BANI/pelaksanaan eksekusinya dengan argumen, putusan BANI dimaksud adalah putusan final, mengikat dan Pengadilan Negeri tidak berkompetensi absolut untuk mengadili putusan BANI.
b. Dalam hal putusan BANI mengalahkan dan merugikan Perusahaan:
1) Segera mengajukan upaya hukum “pembetulan kesalahan-kesalahan” ke BANI dalam jangka waktu tidak lebih dari 14 hari sejak putusan diterima. Dengan argumen, majelis Arbitrase dalam memutuskan sengketa telah menambah atau mengurangi suatu tuntutan yang tidak disinggung/diminta oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase;
2) Pada dasarnya belum pernah ada putusan lembaga yudisiil (badan peradilan dilingkungan Mahkamah Agung) Indonesia yang membatalkan putusan BANI, karena sifat putusan BANI yang final, mengikat dan tidak memungkinkan dilakukan upaya hukum. Namun oleh karena UU. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) sebagai alat yang dapat digunakan Perusahaan dalam menunda pelaksaan eksekusi yang diajukan oleh pihak lawan, maka sangat dimungkinkan bagi Perusahaan untuk dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dengan gugatan pembatalan putusan BANI antara Perusahaan melawan BANI (termohon) dan pihak lawan (sebagai turut termohon).

Badan Hukum Pendidikan, Peluang Baru Bagi Notaris


Pemerintah telah mengundangkan peraturan mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP), yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009. Undang-undang ini sempat menjadi polemik, karena identik dengan privatisasi dan komersialisasi pendidikan, karena pemerintah tidak lagi turut campur dalam pengelolaan pendidikan (khususnya, sekolah dan/atau perguruan tinggi negeri), sehingga sekolah dan/atau perguruan tinggi negeri tersebut harus mencari uang sendiri dengan cara membebankan biaya operasional pendidikan kepada mahasiswanya guna memenuhi kebutuhan operasional sekolah dan/atau perguruan tinggi. Pengelolaan yang dahulu berbentuk Yayasan pun harus diubah menjadi Badan Hukum Pendidikan. Akan tetapi, hal tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena Badan Hukum pendidikan (BHP) sesuai Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2009 adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal yang pengelolaan dananya dilakukan secara mandiri dengan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Hal ini juga dapat diperhatikan dari prinsip-prinsip dasar Pengelolaan pendidikan formal yang dituangkan Pasal 4 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2009 secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:
a. otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik;
b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. tranparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;
d. pejaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.
e. Layanan prima yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;
f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;
g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis dan budaya;
h. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan
i. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.

Satuan Pendidikan di Bawah BHP
Dengan diundangkan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, maka setiap satuan pendidikan yang didirikan harus membentuk Badan Hukum Pendidikan. Definisi Satuan Pendidikan sesuai Pasal 1 ayat (8) jo Pasal 1 ayat (9) UU No. 9 Tahun 2009, adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelengarakan pendidikan formal (pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi). Pendiri Badan Hukum Pendidikan (BHP) dapat dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang mendirikan badan hukum pendidikan. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat memiliki sebutan sebagai berikut :
1. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah adalah Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), yang didirikan dengan peraturan pemerintah atau usul menteri;
2. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah adalah Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD), yang didirikan dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota.
3. Badan Hukum Pendidikan yang didirikan oleh masyarakat adalan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) yang didirikan dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri.
Persyaratan Pendirian Badan Hukum Pendidikan sebagaimana diatur pada Pasal 11 UU No. 9 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a. Badan Hukum Pendidikan harus mempunyai pendiri, tujuan di bidang pendidikan formal, struktur organisasi, dan kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri.
b. Jumlah kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus memadai untuk biaya investasi dan mencukupi untuk biaya operasional badan hukum pendidikan dan ditetapkan dalam anggaran dasar.
c. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah BHP Satuan Pendidikan berdiri, pendiri harus membentuk organ-organ lainnya sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 2009.

Penyesuaian Tata Kelola Yayasan

Tata kelola badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah memiliki paling sedikit 2 (dua) fungsi pokok, yaitu
a. fungsi penentuan kebijakan umum; dan
b. fungsi pengelolaan pendidikan.
Organ badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah terdiri dari atas :
a. Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK); dan
b. Organ Pengelola Pendidikan (OPP).
Kemudian, Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi memiliki paling sedikit 4 (empat) fungsi pokok, yaitu :
a. fungsi penentuan kebijakan umum;
b. fungsi pengawasan akademik;
c. fungsi audit bidang non-akademik; dan
d. fungsi kebijakan dan pengelolaan pendidikan.
Organ badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas :
a. Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK);
b. Organ Representasi Pendidik (ORP);
c. Organ Audit Bidang Non Akademik (OANA); dan
d. Organ Pengelola Pendidikan (OPP).
Organ representasi pemangku kepentingan badan hukum pendidikan menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum.
1. Organ representasi pendidik menjalankan fungsi pengawasan kebijakan akademik.
2. Organ audit bidang non-akademik menjalankan fungsi audit non-akademik
3. Organ pengelola pendidikan menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan.

Satuan Pendidikan yang didirikan dengan Yayasan
Setiap pendiri satuan pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) setelah diberlakukannya UU No. 9 Tahun 2009 wajib berbentuk badan hukum pendidikan. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 UU No. 9 Tahun 2009. Bagaimana dengan satuan pendidikan yang telah diselengarakan oleh Yayasan? Apakah harus berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan? Untuk Yayasan tidak perlu melakukan perubahan menjadi Badan Hukum Pendidikan atau dibubarkan, akan tetapi cukup melakukan penyesuaian anggaran dasar terkait organ-organ dan tata kelola yang ada di Yayasan dengan BHP, karena pada dasarnya organ-organ yang ada pada Yayasan sama dengan BHP hanya berbeda istilahnya saja, untuk Pembina dan Pengurus Yayasan sama dengan ORPK, untuk Pengawas sama dengan OANA, dan Rektor/Ketua/Direktur sama dengan OPP, serta senat akademik sama dengan ORP. Hanya saja terdapat penyesuaian terhadap tugas dan wewenangnya. Salah satu contohnya, tugas wewenang Pembina dalam Pasal 28 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah sebagai berikut :
a. Membuat keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas;
c. Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d. Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Kemudian, tugas dan wewenang ORPK sesuai Pasal 22 UU No.9 Tahun 2009 tentang BHP adalah sebagai berikut :
a. Menyusun dan menetapkan perubahan anggaran dasar dan menetapkan anggaran rumah tangga beserta perubahannya;
b. Menyusun dan menetapkan kebijakan umum;
c. Menetapkan rencana pengembangan jangka panjang, rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan anggaran tahunan;
d. Mengesahkan pimpinan dan keanggotaan organ representasi pendidik;
e. Mengangkat dan memberhentikan pemimpin organ pengelola pendidikan;
f. Melakukan pengawasan umum atas pengelolaan badan hukum pendidikan;
g. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja badan hukum pendidikan;
h. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja badan hukum pendidikan;
i. Melakukan penilaian laporan pertanggungjawaban tahunan pemimpin organ pengelola pendidikan, organ audit bidang non-akademik, dan organ representasi pendidik;
j. Mengusahakan pemenuhan kebutuhan pembiayaan badan hukum pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. Menyelesaikan persoalan badan hukum pendidikan, termasuk masalah keuangan, yang tidak dapat diselesaikan oleh organ badan hukum pendidikan lain sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Maka, tugas dan wewenang Pembina di Yayasan sebagaimana disebutkan diatas disesuaikan dengan ORPK yang ada di BHP. Penyesuaian tersebut diberitahukan kepada Menteri Hukum dan Ham sebagaimana Pasal 21 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, ’’Perubahan anggaran dasar mengenai hal lain cukup diberitahukan kepada Menteri’’. Penyesuaian tersebut tidak hanya tugas dan wewenang saja, akan tetapi unsur-unsur yang duduk di dalam organ. Unsur-unsur yang duduk didalam organ pembina menurut Pasal 28 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Disamping itu, Pengurus dan Pengawas tidak dapat merangkap sebagai pembina atau pengawas sebagaimana Pasal 31 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2001. Hal ini berbeda dengan ORPK dimana OPP dapat diduduk dalam ORPK. Unsur-unsur yang duduk di ORPK di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan/atau menengah meliputi paling sedikit terdiri atas :
a. pendiri atau wakil pendiri;
b. pemimpin organ pengelola pendidikan (kepala sekolah, direktur, ketua);
c. wakil pendidik;
d. wakil tenaga kependidikan; dan
e. wakil komite sekolah/madrasah.
Begitu juga Unsur-unsur ORPK di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, paling sedikit terdiri atas :
a. pendiri atau wakil pendiri;
b. wakil organ representasi pendidik;
c. pemimpin organ pengelola pendidikan (rektor);
d. wakil tenaga kependidikan; dan
e. wakil unsur masyarakat,
Hanya saja kedudukan pemimpin OPP di dalam ORPK tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Melainkan, untuk transparansi dari pelaksanaan pengambilan keputusan ORPK. Yayasan yang telah melakukan penyesuaian disebut sebagai Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara (BHP Penyelenggara). Perlu diketahui di dalam Yayasan sebagaimana Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, terdapat organ Pembina, Pengurus dan Pengawas. Jadi satuan-satuan pendidikan yang telah berada dibawah Yayasan tidak perlu dibubarkan atau dirubah menjadi BHPM, karena Yayasan telah ada terlebih dahulu, sehingga tinggal dilakukan penyesuaian. Akan tetapi, apabila Yayasan tersebut hendak menambah satuan pendidikan, maka satuan pendidikan tersebut harus membentuk Badan Hukum Pendidikan Masyarakat terlebih dahulu (khusus yayasan yang didirikan masyarakat). Misalnya, Yayasan ABC sebelum UU No. 9 Tahun 2009 diundangkan telah memiliki lima satuan pendidikan, yakni dua sekolah dasar, dua sekolah menengah dan satu perguruan tinggi. Setelah diundangkan UU No. 9 Tahun 2009, Yayasan ABC tidak perlu berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan, melainkan cukup melakukan penyesuaian dengan tugas dan wewenang di dalam BHP. Begitu juga dengan kelima satuan pendidikannya tidak perlu masing-masing membentuk BHPM. Pembentukan BHPM baru dilakukan, apabila Yayasan tersebut memiliki satuan pendidikan baru. Contoh lainnya adalah Yayasan Muhamadiyah yang telah memiliki 158 perguruan tinggi dan 8000 sekolah menengah dasar, tidak perlu masing-masing satuan pendidikannya dibentuk BHPM, tapi cukup dilakukan penyesuaian menjadi Badan Hukum Pendidikan Penyelengara, kecuali akan membentuk satuan pendidikan baru (setelah diundangkannya UU No. 9 Tahun 2009), maka harus membentuk BHPM baru. Bagaimana dengan Yayasan yang terlanjur dibubarkan? Satuan pendidikan yang berada di Yayasan yang terlanjur dibubarkan, harus segera mendapatkan dasar penyelengaraan dengan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat, mengingat status ijasah para siswa didik yang dianggap tidak sah apabila pendirian satuan pendidikan tidak memiliki BHPM.

Kekayaan Badan Hukum Pendidikan
Kekayaan Badan Hukum Pendidikan pada prinsipnya adalah kekayaan pendiri yang dipisahkan laiknya modal dalam Perseroan Terbatas yang dipisahkan antara modal badan hukum dan kekayaan para pemegang sahamnya, karena pertanggungjawabannya sebatas modal yang disetor ke Perseroan sebagaimana UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hanya saja ada kekayaan pendiri yang dipergunakan BHP masih dapat dimiliki oleh pendiri, seperti halnya lahan dan/atau bangunan, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU No. 9 Tahun 2009, ’’…Lahan dan/atau bangunan dapat tidak dimasukkan sebagai kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai kekayaan badan hukum pendidikan.’’

Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah
Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 71 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan Hukum Pendidikan. Mekanisme pendirian yang diatur dalam Permen Pendidikan No. 71 Tahun 2009 adalah Pendirian BHPP, BHPPD dan BHPM. Salah satu contohnya adalah mekanisme pendirian BHPM diatur dalam Pasal 5 adalah sebagai berikut :
a. Orang atau masyarakat sebagai pendiri menyusun studi kelayakan pendirian BHPM dan rancangan akta pendirian/anggaran dasar BHPM yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan Notaris;
b. Studi kelayakan dan rancangan akta pendirian/anggaran dasar BHPM tersebut disampaikan oleh pendiri kepada Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi untuk memperoleh persetujuan;
c. Apabila studi kelayakan dan rancangan akta pendirian/anggaran dasar BHPM disetujui, pendiri pembuat akta pendirian BHPM dihadapan notaris dengan menyerahkan studi kelayakan yang telah disetujui Menteri;
d. Akta Notaris tersebut disampaikan oleh notaris kepada Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi untuk memperoleh pengesahan;
e. Status sebagai BHPM berlaku mulai tanggal akta notaris tentang pendirian BHPM disahkan oleh Menteri;
f. BHPM berwenang menyelenggarakan kegiatan pendidikan setelah mendapat ijin operasional penyelenggaraan pendidikan dari gubernur atau bupati/walikota berdasarkan pemenuhan persyaratan penyelenggaraan pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pengaturan mengenai isi dari studi kelayakan diatur dalam Pasal 6 Permen Pendidikan Nasional No. 71 Tahun 2009. Kemudian, untuk penyesuaian Yayasan yang telah ada sebelum UU No. 9 Tahun 2009 ada terhadap BHP dilakukan dengan pengakuan. Mekanisme pengakuan diatur dalam Pasal 11 Permen Pendidikan Nasional No. 71 Tahun 2009 sebagaimana berkut :
a. Penyelenggara menyusun rancangan perubahan akta pendirian/anggaran dasar, khusus bagian tata kelola penyelenggara untuk disesuaikan dengan tata kelola penyelenggara untuk disesuaikan dengan tata kelola badan hukum pendidikan, yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya;
b. Rancangan perubahan akta pendirian/anggaran dasar tersebut disampaikan oleh penyelenggara untuk mendapatkan persetujuan Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi;
c. Apabila rancangan perubahan akta pendirian/anggaran dasar disetujui, penyelenggara mengubah akta pendirian dihadapan notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya;
d. Perubahan Akta pendirian/anggaran dasar yayasan tersebut diberitahukan oleh notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Perubahan akta pendirian/anggaran dasar badan hukum lain selain yayasan diberitahukan oleh notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya kepada menteri yang berwenang ats badan hukum tersebut;
e. Foto copi sesuai asli surat tanda terima pemberitahuan tentang perubahan akta pendirian/anggaran dasar yayasan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan foto kopi sesuai asli surat tanda penerimaan pemberitahuan tentang perubahan akta pendirian/anggaran dasar badan hukum lain selain yayasan atau perkumpulan dari menteri yang berwenang atas badan hukum lain selain yayasan tersebut disampaikan oleh notaris atau pejabat yang berwenang membuat aktanya kepada Menteri melalui Biro Hukum dan Organisasi.
Sedangkan, untuk mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan untuk Perguruan Tinggi, diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara atau Perguruan Tinggi, dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan.

Peluang Bagi Notaris
Keberadaan UU BHP ini sebenarnya peluang bagi Notaris didalam pembuatan Akta BHP, karena tidak menutup kemungkinan permintaan masyarakat didalam pembuatan akta pendirian BHP meningkat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengharapkan pengelolaan pendidikan yang mandiri dan transparan dengan wadah BHP. Disamping ada kewajiban untuk menyesuaikan tata kelola Yayasan dengan BHP Penyelenggara. Oleh karena itu, pengetahuan yang mendalam mengenai BHP sangatlah penting bagi Notaris untuk meningkatkan kualitas akta.
Google
 
Web www.notariatwatch.tk