Sabtu, 17 Mei 2008

BPN Tidak Gengsi

Pelan-pelan BPN mulai berubah, dengan memperbaiki kinerjanya. Diantaranya dengan menciptakan inovasi, Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikat). Meski sedikit terlambat, karena program yang mirip Larasita telah terlebih dahulu dimulai beberapa instansi pemerintah maupun BUMN, diantaranya Polri yang secara berkala mengadakan program Surat Izin Mengemudi (SIM) keliling dengan menggunakan minibus, kemudian Kantor Pos Indonesia yang memiliki mobil pelayanan pos yang secara berkala melayani masyarakat, dan drive thru Samsat, keberadaan program Larasita ini menunjukan bahwa BPN pusat tidak gengsi untuk mengadopsi inovasi yang terdapat di Kantor-Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten atau Kota, seperti halnya Larasita yang diciptakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar, demi kemajuan BPN serta memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan akurat kepada masyarakat.

Sekadar diketahui program Larasita ini diadopsi dari sistem Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar yang sudah menerapkan teknologi informasi Mobile Government (M.Gov). Dengan program M. Gov, Pemkab Karanganyar menyediakan kendaraan roda empat berisi perangkat keliling berbasis teknologi informasi. Mobil keliling tersebut melakukan jemput bola mengunjungi masyarakat yang membutuhkan pelayanan pertanahan. Kelebihan dari program ini adalah petugas kantor pertanahan dapat menjangkau setiap kecamatan, terutama pada desa-desa yang jauh dari kantor pertanahan.

Inovasi di Daerah Lain

Sebenarnya jika BPN pusat jeli, BPN pusat dapat menemukan inovasi-inovasi pelayanan di Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota yang patut diterapkan di Kantor Pertanahan lainnya. Diantaranya, Kantor Pertanahan Kota Malang yang berhasil mendapatkan ISO 9001:2000 dari Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Taufik Effendi Februari 2008 lalu karena memiliki Petunjuk Pelaksanaan dalam melaksanakan, Standar Prosedur Operasional Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) untuk dua jenis pelayanan, yakni pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pengakuan hak (konversi), kemudian Kantor Pertanahan Klaten yang menerapkan program pelayanan berupa ‘Kios K’, perangkat teknologi komputer yang menyajikan informasi mengenai loket, produk pertanahan, jenis dan syarat permohonan, info data pendaftaran tanah, pengecekan berkas permohonan, fasilitas PPAT dan lainnya. Selain itu, Kantor Pertanahan Klaten juga menyediakan pelayanan via telepon melalui Call Center BPN dan Hallo BPN serta SMS. Penyajian teknologi oleh Kantor Pertanahan Klaten berbasis System Land Office Computerize (Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT & Hukum, Renvoi, 03/04/2008).

Inovasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Klaten adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada masyarakat Klaten. Dengan begitu masyarakat Klaten akan memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai informasi dan pelayanan pertanahan.

Program Larasita merupakan sinyal positif dari BPN untuk melakukan reformasi birokrasi, karena itu perlu kita dukung 100% dengan menjadi masyarakat taat hukum dengan melakukan pengurusan sertifikat sesuai prosedur. Dengan begitu kita dapat membantu BPN untuk berubah. Sebaliknya, BPN harus terbuka di dalam menerima segala masukan serta memberikan informasi pertanahan yang akurat kepada masyarakat. Ayo berubah BPN, kalau tidak sekarang kapan lagi!

Monopoli Akta

BPN tidak hanya terkenal korup tapi juga arogan, hal ini dapat juga terlihat kebijakan-kebijakan yang dibuat, salah satunya adalah kebijakan berupa Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, yang mewajibkan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk membeli dan memakai blangko Akta PPAT yang dibuat oleh BPN. Padahal, berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT dalam jabatannya memiliki kewenangan untuk membuat akta sendiri.

Blangko yang dibuat BPN adalah blangko akta yang berkaitan dengan pertanahan, misalnya Akta Jual Beli, Akta Hibah dan lainnya, blangko tersebut berwujud form isian dan PPAT hanya mengisi form isian tersebut.

Pakar Hukum Perjanjian Unair, Prof Dr. Moch. Isnaeni SH. MS., menyebutkan kebijakan BPN tersebut adalah upaya untuk membodohi Notaris dan PPAT. Pasalnya, Notaris dan PPAT tidak perlu membuat akta, tapi cukup membeli blangko akta yang telah disediakan BPN. ’’Percuma sekolah dua tahun kalau lulus hanya mengisi titik-titik,’’ katanya.

Parahnya, Blanko tersebut dicetak oleh Yayasan yang dimiliki oleh BPN. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan yang menyebutkan bahwa pendirian Yayasan tidak boleh berbisnis, melainkan hanya untuk kepentingan sosial. Saat ini Yayasan tersebut sedang diaudit serta diperiksa oleh tim dari Kejaksaan Agung.

Selain itu BPN sebagai lembaga resmi pemerintah tidak selayaknya untuk mencari tambahan penghasilan dengan menkomersilkan blangko PPAT.

Habib Adjie, Notaris & PPAT asal Surabaya juga mempermasalahkan hal tersebut dengan menggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Menurutnya, BPN telah bertindak semena-mena menolak Akta Jual Beli yang dibuat olehnya. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, memperbolehkan PPAT untuk membuat akta otentik (Media Notariat, 2/09/2007).

Diskriminasi SKW

Entah apa yang membuat pengurusan sertifikat di BPN menjadi lama dan berbelit-belit. BPN tidak pernah transparan untuk mengungkap permasalahannya kepada masyarakat maupun rekan kerjanya, Notaris dan PPAT. Bahkan, sebagai instansi satu-satunya yang mengurus pertanahan mereka terkesan arogan menggunakan kewenangan serta membuat kebijakan-kebijakan yang semakin mempersulit masyarakat.

Misalnya, BPN masih diskriminasi di dalam pengurusan balik nama tanah yang berasal dari warisan, yakni dengan masih mengolong-golongkan pemohon dengan membeda-bedakan persyaratan dokumen berupa Surat Keterangan Waris (SKW) yang harus dipenuhi bagi orang pribumi, non pribumi (Tiong Hoa) dan keturunan Arab.

BPN mengharuskan SKW bagi masyarakat pribumi untuk dibuat di bawah tangan dan diketahui Kantor Kelurahan dan Kecamatan, kemudian SKW non pribumi (Tiong Hoa) dibuat oleh Notaris, sedangkan warga Indonesia keturunan Arab dibuat oleh Kantor Balai Harta Peninggalan.

Hal ini tentunya bertentangan prinsip Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam Pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa, Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Kemudian, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Kewarganegaraan Indonesia. Di dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa, Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa-bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai Warga Negara. Dari pasal UU Kewarganegaran tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Undang-Undang kita tidak mengenal penggolongan penduduk, melainkan yang ada adalah satu, yakni Warga Negara Indonesia (WNI).

Sebaliknya dengan adanya diskriminasi tersebut berarti BPN masih menggunakan peraturan zaman Belanda Pasal 131 ayat 2 dan 163 ayat 1 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi rakyat Indonesia menjadi tiga golongan, yakni Golongan Eropa, Golongan Bumiputera dan Golongan Timur Asing. Padahal asal-muasal pasal 131 ayat 2 dan 163 ayat 1 IS adalah untuk memecah belah bangsa Indonesia, dengan membeda-bedakan status sosial.

Sudah saatnya permasalahan ini sikapi secara bijak, yakni pengurusan SKW cukup ditangani oleh satu lembaga atau pejabat saja. Misalnya, Notaris. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Dengan begitu, pengolong-golongan yang berujung diskriminasi dapat dihilangkan

Kamis, 15 Mei 2008

Corrupted Mind

Meskipun telah banyak pejabat yang disel baik dari pejabat BPN pusat sampai daerah, praktek-praktek korupsi sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah, karena sudah mengakar dilingkungan instansi yang dipimpin oleh Joyo Winoto tersebut.

Ditetapkannya Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta Robert J. Lumempauw dan Kepala BPN Jakarta Selatan Ronny Kusuma Yudistiro sebagai tersangka dalam kasus korupsi Gelora Senayan mengenai perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton, pejabat Kantor Pertanahan Parepare, Fuji Hartono, dalam kasus dugaan pungutan liar (pungli) proyek nasional (prona) sertifikat tanah gratis tahun 2006 di Kota Bandar Madani, hingga tertangkapnya Khudlori, Mantan Kepala Pertanahan Kota Surabaya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi beberapa waktu lalu, tidak membuat jera para pegawai kantor-kantor pertanahan untuk berhenti melakukan perbuatan korupsi, mereka malah terkesan mencari celah lain untuk melakukan korupsi.

Sepertinya mereka sudah menganggap perbuatan korupsi adalah hal biasa dan lazim dilakukan sehingga sulit untuk menghi-langkannya atau kalau saya boleh mengambil istilah dari Kwik Kian Gie, Corrupted Mind (pikiran yang terkorupsi).

Sudah Saatnya BPN Berubah

Jurus inovatif dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk memberantas para calo dan mafia tanah melalui program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah), Jawa Pos, 19/04/08 dan Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT & Hukum, Renvoi, 03/03/08, patut diapresiasi positif, pasalnya, pelayanan BPN maupun Kantor Pertanahan tingkat Kabupaten atau Kota selama ini terkenal lambat dan bertele-tele, memakan banyak tenaga dan biaya-biaya siluman serta seringkali diwarnai dengan kebijakan yang menyimpang seperti halnya keberadaan sertifikat ganda.

Taruhlah di Kantor Pertanahan Kota Surabaya, untuk pengurusan sertifikat yang hendak di balik nama karena jual-beli, jangka waktu pengurusannya dapat mencapai 3-4 bulan, kemudian untuk pengurusan petok D, bentuk kepemilikan hak yang terdaftar di kelurahan, yang hendak disertifikatkan karena warisan bisa mencapai satu tahun.

Selain jangka waktu yang cukup lama, para pemohon harus rela berkali-kali ke Kantor Pertanahan untuk menanyakan perkembangan sertifikatnya. Pasalnya, jika hal tersebut tidak dilakukan, petugas Kantor Pertanahan akan seenaknya memproses permohonannya, apalagi kalau tidak diberi ‘uang rokok’.

Urip Santoso, staf pengajar S2 Kenotariatan Fakultas Hukum Unair dalam perkuliahannya (16/04/08), menceritakan pernah mengalami ruwetnya birokrasi di BPN, yakni saat mengurus pengajuan perolehan Hak atas Tanah. Dia mengaku untuk mengurus perolehan Hak atas Tanah, dia harus rela 15 kali datang ke Kantor Pertanahan dan menghabiskan waktu hingga 1,5 tahun.

Berbeda jika kita melalui ‘Jalan Tol’. ‘Jalan Tol’ adalah istilah yang dipergunakan para calo kepada calon konsumennya untuk mendapatkan pengurusan yang lebih cepat dengan jalan pintas. Ya, tentunya dengan biaya extra untuk calo dan oknum di BPN maupun Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota.

Kebanyakan pengguna ‘Jalan Tol’ adalah kalangan pebisnis berduit. Para pebisnis rela merogoh koceknya lebih banyak untuk pengurusan sertifikat demi kelancaran kegiatan bisnisnya. Hal inilah yang dimanfaatkan oknum pejabat di Kantor Pertanahan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Sebagai buktinya, Penulis ingin menceritakan pengalaman saat menjadi analis kredit KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) di sebuah Bank di Surabaya sekitar pertengahan 2007, kebetulan penulis mendapatkan calon debitor (cadeb) yang berasal dari pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo, di dalam proses pengajuan kreditnya, cadeb tersebut mengaku dalam sebulan bisa memperoleh pendapatan kotor hingga Rp. 20 juta. Hal ini membuat penulis bertanya-tanya dari mana pendapatan tersebut, padahal di surat keterangan penghasilan, gajinya kurang lebih Rp. 3 juta. Ketika ditanya asal pendapatan Rp. 20 juta, dengan polosnya dia mengaku mendapatkan pendapatan biaya ‘tambahan’ dari pengurusan sertifikat dari developer, yakni Rp. 750 ribu/sertifikat.

’’Saya kan pejabat disini. Jadi, saya banyak mendapatkan tambahan dari setiap pengurusan sertifikat dari developer,’’ katanya dengan sedikit angkuh.

Kutipan di atas menunjukan betapa arogannya seorang pejabat Kantor Pertanahan karena dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, dia dapat seenaknya mencari ’tambahan’.

Perbuatan ini pulalah yang mengakibatkan pelayanan bagi masyarakat menjadi panjang dan berliku-liku, karena mereka harus rela dikalahkan oleh kepentingan si pebisnis yang punya banyak uang. Tak jarang pula oknum BPN yang sudah terbutakan oleh uang bertindak semaunya, membuat sertifikat ganda, sehingga menimbulkan permasalahan dikemudian hari.

Perbuatan oknum pejabat Kantor Pertanahan tersebut bertentangan dengan Instruksi Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Percepatan Pendaftaran Hak Milik atas Tanah untuk Tempat Tinggal.

Di dalam Pasal 3 ayat 1 peraturan tersebut disebutkan bahwa. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota menetapkan jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran Hak Milik atas Tanah untuk rumah tinggal sesuai kondisi dan kemampuan kantor masing-masing dan menepati jangka waktu tersebut, dengan ketentuan bahwa permohonan yang diajukan melalui PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) jangka waktu penyelesaiannya ditetapkan paling sedikit dua minggu lebih lama dari pada yang diajukan pemohon sendiri.

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota harus memiliki batas waktu di dalam pengurusan pendaftaran Hak Milik, sehingga tidak terjadi keterlambatan.

Lebih jauh lagi, perbuatan yang dilakukan oleh oknum pejabat Kantor Pertanahan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, karena melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalagunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.

Sedangkan, pihak developer dapat dikenai Pasal 13 Undang-Undang tersebut bahwa, Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150 juta.

‘Binatang’ Jenis Apa Itu Notaris?

Mungkin pertanyaan itu sedikit ekstrem bagi anda, Notaris ataupun Ca- Not. Tapi, itu memang kenyataannya, karena sebagian masyarakat Indonesia tidak mengetahui kewenangan dan fungsi Notaris, apalagi bagi mereka yang tinggal di pelosok.

Ada yang menyebutkan notaris itu sama dengan pengacara atau advokat. Ada juga yang mengatakan notaris dapat membuat Akta Kelahiran. Bahkan ada juga yang ujug-ujug datang ke notaris membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk). Karena itu perlu pelurusan mengenai kewenangan dan fungsi notaris.

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Lebih lanjut dalam Pasal 15 ayat 1 Undang Undang Jabatan Notaris, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta- akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Tulisan bercetak tebal di atas adalah inti dari tugas dan wewenang Notaris yang utama, yakni memformulasikan keinginan para pihak ke dalam akta otentik.

Mengapa disebut akta otentik? Karena akta tersebut telah dibuat sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku serta dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum yang ditunjuk oleh pemerintah, yakni Notaris. (pasal 1868 Burgerlijk Wetboek jo. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004).

Sehingga akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris adalah bukti sempurna bagi para pihak maupun pihak ketiga. Misalnya, anda ingin mendirikan CV atau Persekutuan Komanditer, maka anda dan rekan anda perlu membuat akta pendirian dihadapan Notaris, kemudian didaftarkan di Pengadilan Negeri untuk memenuhi asas publisitas.

Jika dibandingkan dengan akta dibawah tangan mana yang lebih kuat? Sebenarnya akta di bawah tangan adalah sah, akan tetapi di dalam pembuktian masih belum kuat. Apalagi tidak ada saksi-saksi.

Akta – akta yang dibuat oleh dan dihadapan notaris bermacam-macam. Ada akta partij dan akta relaas. Akta partij adalah akta yang dibuat oleh para pihak. Misalnya, anda dan rekan anda hendak mengadakan perjanjian jual-beli, maka anda dapat membuat dihadapan Notaris selanjutnya dituangkan ke dalam akta notariil. Akta relaas adalah akta yang dibuat oleh Notaris. Misalnya, risalah lelang atau pembuatan berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Google
 
Web www.notariatwatch.tk